Minggu, 29 Juli 2012

KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA (Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 2021)


            Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.
Pada masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.
Di masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini, kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi runyam.

Tidak Terintegrasi
Politik gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.
            Ekonomi juga gagal karena tidak terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan kekayaan.
            Dalam dua kondisi tersebut, banyak juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi faktor dominannya politik atau ekonomi.

Prinsip Etis-Kemanusiaan
Lantas apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan, mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan, yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum berbudaya.
Dengan demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip politik yang diberlakukan.
            Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.
Apakah jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia.
Akan tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *

Aprinus Salam, pengajar pada Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Kamis, 19 Juli 2012

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN (Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 3 Juli 2012) Oleh Aprinus Salam


Kebudayaan tidak perlu dipikirkan karena kebudayan secara otomatis dan inheren merupakan praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dapat bekerja, berpikir, dan belajar dengan baik, bagaimana dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.
Hal lain  yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengatur agar mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran dan sportivitas berjalan dengan benar, bagaimana mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan mendapatkan tempatnya secara penuh, bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab dapat dikedepankan, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka.
Jika hal itu terjadi, maka kebudayaan kita akan berjalan dengan sendirinya, dan dapat dipastikan akan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita. Dengan demikian, persoalan yang kita hadapi bukan persoalan ke mana arah perkembangan kebudayaan, bukan soal terjadinya kemorosotan berbudaya, bukan soal terjadinya stagnasi dalam kebudayaan kita
Persoalan arah perkembangan kebudayaan kita menjadi lebih kapitalistis dan dikuasai oleh budaya populer karena kita tidak bergerak untuk berkarya dan bekerja produktif. Kita menjadi penonton dan peniru, dan dalam rangka itu kita seolah telah mengisi hidup dengan produktif. Hal itu didukung ketika berbagai studi dan analisis kebudayan lebih dalam rangka menjelaskan terjadinya budaya konsumtif atau riuh manisnya budaya populer.
            Pikiran tentang terjadinya kemerosotan berbudaya terjadi karena kita hanya nguri-nguri kebudayaan, tetapi justru terjebak dengan nostalgia dan “kecanggihan” masa lalu tanpa ada upaya memodifikasi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pun terjadinya stagnasi kebudayaan karena selama ini yang kita lakukan adalah membangun dan memikirkan serta melakukan berbagai kegiatan budaya tanpa ada progresi terhadap substansi, tidak ada upaya pendalaman dan pencapaian dalam sebuah kerja sistematis.
            Hal itu terlihat dari berbagai kegiatan kebudayaan, atau seolah-oleh kegiatan kebudayaan. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kegiatan itu ramai atau tidak, gayeng atau tidak. Ukuran kuantitatif keramaian dan keriuhan menjadi ukuran kesuksesan. Tapi apa yang terjadi, substasi kebudayaan yang perlu dipikirkan, seperti disinggung di atas, sama sekali tidak tersentuh. Kita hanya berjalan di tempat.
* * *
Banyak hal yang selama ini relatif salah-kaprah ketika kita memikirkan kebudayaan seolah kebudayaan merupakan strategi atau cara-cara berbudaya itu sendiri. Sebagai misalnya, konsep pendidikan berbasis budaya, dalam argumen di atas, justru keliru. Hal yang benar seharusnya adalah pendidikan berbasis karya, atau pendidikan berbasis kejujuran dan tanggung jawab, atau pendidikan berbasis kerja. Jauh lebih penting mengondisikan bagaimana mempraktikkan kejujuran dalam pendidikan daripada apakah pendidikan telah sejalan dan berbasis kebudayaan. Jauh lebih utama memikirkan bagaimana agar dapat bekerja dan berkarya daripada apakah kebayaan kita adiluhung atau tidak.
Hal itu terjadi bukan saja kebudayaan itu abstrak, terlalu luas, dan setiap orang berkepentingan dan merasa penting “memikirkannya”, tetapi dalam praktiknya kebudayaan juga menjadi ajang komoditas tertentu dalam budaya yang dihegemoni oleh konstruksi kapitalisme.
            Berangkat dari kenyataan itu, sudut pandang dan paradigma tentang bagaimana mempersoalkan kebudayaan memang sudah waktunya digeser. Kata-kata tentang kebudayaan yang biasanya selalu menjadi subjek atau kata utama dalam sebuah frase selayaknya diminimalkan. Apa pun yang kita dedikasikan tentang dan dalam kehidupan sehari-hari adalah proses berkebudayaan itu sendiri.
* * *
Dengan demikian, apakah kementerian pendidikan dan kebudayaan masih relevan? Kementerian atau departemen kebudayaan menjadi tidak relevan jika tidak dalam rangka memfasilitasi bagaimana agar masyarakat dapat bekerja dan belajar dengan maksimal dan mudah (tidak dengan banyak peraturan yang menyulitkan), bagaimana agar masyarakat dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana agar masyarakat dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.
Persoalan kedua, apakah kemudian fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan di universitas menjadi tidak relevan? Mungkin masih relevan jika lembaga-lembaga itu bergerak dalam rangka menjadi lembaga yang  mengembangkan atau meneliti sekaligus memperjuangkan mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran, memperjuangkan mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan, mendapatkan tempatnya secara penuh, memperjuangkan bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab mendapat tempat utama, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka dan transparan.
Jika hal itu tidak terjadi, maka baik kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan, mungkin tidak ada gunanya. Pertanyaannya adalah sejauh ini apa yang dikerjakan oleh kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan?

Aprinus Salam, dosen Pasca Sarjana FIB UGM.