Kebudayaan
tidak perlu dipikirkan karena kebudayan secara otomatis dan inheren merupakan
praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dapat
bekerja, berpikir, dan belajar dengan baik, bagaimana dapat berkarya dengan
khusuk, bagaimana dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah
pekerjaan secara leluasa dan bebas.
Hal
lain yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana mengatur agar mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran dan
sportivitas berjalan dengan benar, bagaimana mekanisme atau sistem nilai/etika
kemanusiaan mendapatkan tempatnya secara penuh, bagaimana perbedaan dan
keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab dapat
dikedepankan, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya
secara terbuka.
Jika
hal itu terjadi, maka kebudayaan kita akan berjalan dengan sendirinya, dan
dapat dipastikan akan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita. Dengan
demikian, persoalan yang kita hadapi bukan persoalan ke mana arah perkembangan
kebudayaan, bukan soal terjadinya kemorosotan berbudaya, bukan soal terjadinya
stagnasi dalam kebudayaan kita
Persoalan
arah perkembangan kebudayaan kita menjadi lebih kapitalistis dan dikuasai oleh
budaya populer karena kita tidak bergerak untuk berkarya dan bekerja produktif.
Kita menjadi penonton dan peniru, dan dalam rangka itu kita seolah telah
mengisi hidup dengan produktif. Hal itu didukung ketika berbagai studi dan
analisis kebudayan lebih dalam rangka menjelaskan terjadinya budaya konsumtif
atau riuh manisnya budaya populer.
Pikiran tentang terjadinya
kemerosotan berbudaya terjadi karena kita hanya nguri-nguri kebudayaan, tetapi justru terjebak dengan nostalgia dan
“kecanggihan” masa lalu tanpa ada upaya memodifikasi sesuai dengan perkembangan
dan kemajuan zaman. Pun terjadinya stagnasi kebudayaan karena selama ini yang
kita lakukan adalah membangun dan memikirkan serta melakukan berbagai kegiatan
budaya tanpa ada progresi terhadap substansi, tidak ada upaya pendalaman dan
pencapaian dalam sebuah kerja sistematis.
Hal itu terlihat dari berbagai
kegiatan kebudayaan, atau seolah-oleh kegiatan kebudayaan. Hal yang menjadi
pertanyaan adalah apakah kegiatan itu ramai atau tidak, gayeng atau tidak. Ukuran kuantitatif keramaian dan keriuhan
menjadi ukuran kesuksesan. Tapi apa yang terjadi, substasi kebudayaan yang
perlu dipikirkan, seperti disinggung di atas, sama sekali tidak tersentuh. Kita
hanya berjalan di tempat.
* * *
Banyak
hal yang selama ini relatif salah-kaprah
ketika kita memikirkan kebudayaan seolah kebudayaan merupakan strategi atau
cara-cara berbudaya itu sendiri. Sebagai misalnya, konsep pendidikan berbasis
budaya, dalam argumen di atas, justru keliru. Hal yang benar seharusnya adalah
pendidikan berbasis karya, atau pendidikan berbasis kejujuran dan tanggung
jawab, atau pendidikan berbasis kerja. Jauh lebih penting mengondisikan bagaimana
mempraktikkan kejujuran dalam pendidikan daripada apakah pendidikan telah sejalan
dan berbasis kebudayaan. Jauh lebih utama memikirkan bagaimana agar dapat
bekerja dan berkarya daripada apakah kebayaan kita adiluhung atau tidak.
Hal
itu terjadi bukan saja kebudayaan itu abstrak, terlalu luas, dan setiap orang
berkepentingan dan merasa penting “memikirkannya”, tetapi dalam praktiknya
kebudayaan juga menjadi ajang komoditas tertentu dalam budaya yang dihegemoni
oleh konstruksi kapitalisme.
Berangkat dari kenyataan itu, sudut
pandang dan paradigma tentang bagaimana mempersoalkan kebudayaan memang sudah
waktunya digeser. Kata-kata tentang kebudayaan yang biasanya selalu menjadi subjek
atau kata utama dalam sebuah frase selayaknya diminimalkan. Apa pun yang kita
dedikasikan tentang dan dalam kehidupan sehari-hari adalah proses berkebudayaan
itu sendiri.
* * *
Dengan
demikian, apakah kementerian pendidikan dan kebudayaan masih relevan?
Kementerian atau departemen kebudayaan menjadi tidak relevan jika tidak dalam
rangka memfasilitasi bagaimana agar masyarakat dapat bekerja dan belajar dengan
maksimal dan mudah (tidak dengan banyak peraturan yang menyulitkan), bagaimana
agar masyarakat dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana agar masyarakat dapat
mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa
dan bebas.
Persoalan
kedua, apakah kemudian fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan di
universitas menjadi tidak relevan? Mungkin masih relevan jika lembaga-lembaga
itu bergerak dalam rangka menjadi lembaga yang mengembangkan atau meneliti sekaligus
memperjuangkan mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran, memperjuangkan mekanisme
atau sistem nilai/etika kemanusiaan, mendapatkan tempatnya secara penuh, memperjuangkan
bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana
persoalan tanggung jawab mendapat tempat utama, dan bagaimana proses-proses
pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka dan transparan.
Jika
hal itu tidak terjadi, maka baik kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu
budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan, mungkin tidak ada gunanya.
Pertanyaannya adalah sejauh ini apa yang dikerjakan oleh kementerian kebudayaan
atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan?
Aprinus Salam, dosen Pasca
Sarjana FIB UGM.
Bagaimana mensinergikan budaya dan agama Islam pada masa moderen? Beberapa ulama Islam selalu menekankan bahwa Islam bukan hanya agama, melainkan "the way of life", yang juga dapat diartikan sebagai suatu budaya juga. Nilai-nilai dalam budaya lokal telah acapkali bentrok dengan budaya Islam yang dicontohkan oleh Nabi, misalnya masalah aurat, masalah musik petik, masalah salaman, dan sebagainya.
BalasHapus