Sabtu, 21 April 2012

NEGARA ARTIS, MEDIA, ATAU PARPOL?



Oleh Aprinus Salam

Belakangan ini, semakin banyak para artis yang menjadi pejabat, baik setingkat (wakil) gubernur, bupati, atau anggota legislatif di pusat ataupun daerah. Di antara mereka sejumlah artis lain sudah antri menjadi calon bupati atau gubernur. Tidak kurang, Dewi Persik pun mengaku sudah diminta parpol tertentu untuk dijadikan caleg.
Apa yang sedang terjadi di negara kita ini?
Dulu ada cerita bahwa jika Anda ingin menjadi orang sukses, maka sebaiknya Anda bercita-cita menjadi tentara. Dengan menjadi tentara, Anda bisa menjadi pejabat, menjadi anggota DPR, gubernur, bupati, camat, mubalik, dan menjadi pengusaha sekaligus. Itulah sebabnya, pada zaman Orde Baru, negara kita disebut sebagai negara militer. Hampir seluruh lini jabatan penting dipegang oleh para militer.
Sekarang semuanya berubah. Jika Anda ingin menjadi sukses, maka bercita-citalah menjadi artis. Dengan menjadi artis, maka Anda bisa menjadi gubernur, bupati, atau anggota legislatif, dan tentu menjadi mubalik dan pengusaha. Sangat mungkin ke depan (sebentar lagi) negara kita menjadi negara artis.
Tentu fenomena ini bukan gejala baru. Di Amerika, beberapa aktor terkenal sudah mendahului menjadi gubernur atau bahkan presiden. Ronald Reagen yang sempat menjadi presiden Amerika, pada dasarnya adalah seorang artis.
Kembali ke pertanyaan semula, apa yang sedang terjadi di negara kita ini dan ke mana arah perkembangan tersebut?

Kuasa Media
            Seperti halnya berkarier dalam militer, menjadi artis terkenal itu tidak mudah. Menjadi artis itu perlu kerja keras, disiplin, dan bakat. Dan di luar itu adalah keberuntungan, atau nasib baik. Banyak orang yang bisa bekerja keras dan disiplin, tapi tidak memiliki keberuntungan yang baik. Akhirnya, ia hanya bisa menjadi artis jalanan.
            Di luar faktor di atas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktor media (massa). Faktor terpenting dan utama yang membuat orang sukses adalah ketika ia menjadi terkenal. Media massalahnya yang memiliki kemampuan membuat seseorang menjadi terkenal. Ketika seseorang telah terkenal, maka masyarakat akan memilih yang dia kenal daripada tidak sama sekali.
Artinya, di sisi lain, saat ini pun negara kita adalah negara media. Yakni sesungguhnya yang berkuasa itu, seperti militer yang berkuasa, adalah media massa. Dalam sisi ini, media massa ikut bertanggung jawab dalam mengatrol popularitas seseorang sehingga ia menjadi artis terkenal dan kemudian menjadi pejabat penting.
Yang perlu dipesankan kepada media adalah bahwa media selayaknya mempopularitaskan seseorang yang memiliki kemampuan ekstra (lebih) sehingga seseorang memang layak “diartiskan”. Bukan karena dia cantik atau tampan, atau karena memiliki koneksi (dan uang). Artinya, seseorang yang memiliki track record yang unggul dan memiliki kecerdasan memadai.
Kita tahu, artis itu juga manusia dan warga Indonesia dan berhak menjadi pemimpin di negeri ini. Dengan demikian, jika perlu, media juga memiliki kemampuan dalam “menskenario” dan “menjagokan” pemimpin masa depan. Saya kira, banyak orang berbakat di negeri kita ini yang bisa “diartiskan” dan kemudian “direkayasa” untuk menjadi pejabat atau pemimpin.

Jadi Boneka Parpol
Masalahnya adalah, di balik itu, bahwa sebetulnya parpollah yang menyetir praktik dan realitas perpolitikan kita. UU politik dan pemilu (masih) hanya memberi peluang kepada parpol untuk mencalonkan lagislatif dan eksekutif. Hingga kini calon independen juga tidak (belum) mendapat tempat dalam dunia politik Indonesia.
Padahal kita tahu, dan parpol pun tahu, bahwa kredibilitas parpol kita nyaris kehilangan rasa percaya diri dan memiliki citra buruk di mata masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa parpol hanya menghabiskan uang rakyat, parpol hanya dijadikan sarana untuk mencari nafkah dan kekayaan, dan citra parpol yang berideologikan kekuasaan dan uang. Kenyataan ini semakin sulit dibantah ketika banyak orang partai yang bercokol di legislatif dan eksekutif tertangkap basah bermain kotor.
Sebagai akibatnya, masyarakat tidak peduli parpol, karena tidak ada parpol yang bisa mempertahankan dirinya sebagai suatu parpol yang ideal dan bersih. Hal itu juga didukung kenyataan bahwa banyak parpol tidak memiliki ideologi yang konsisten dan teruji. Hal itu terlihat dari banyaknya parpol melakukan koalisi “selingkuh” dengan berbagai parpol lain, hanya demi agar calon mereka dalam pilkada di daerah tertentu dapat menang.
            Padahal, parpollah yang berkuasa mengusung siapa yang menjadi anggota DPR(D), bupati, gubernur atau presiden. Karena ambisi parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, maka parpol dengan segala cara merebut kesempatan tersebut. Salah satu cara adalah kemampuan parpol membaca “selera” masyarakat.
Salah satu hasil bacaan tersebut adalah masyarakat membutuhkan figur yang terkenal, muda, enerjik, kalau perlu tampan atau cantik. Terbukti, sebagian dari mereka berhasil menjadi wakil gebernur, bupati, atau menjadi anggota legislatif.
Kemudian, kita tahu bahwa para artis yeng manjadi pajabat tersebut berhutang kepada parpol. Saya tidak pernah merendahkan kemampuan artis menjadi pemimpin, walaupun pengalaman mereka dalam dunia politik sangat minim. Menjadi pemimpin itu tidak sulit. Yang sulit adalah proses menjadi pemimpin dan proses memilih staf (ahli) yang bagus.
Yang menjadi masalah adalah bahwa mereka para artis yang menjadi pejabat tersebut tentulah berhutang budi pada parpol yang mengusung dan menyebabkan mereka menjadi pemimpin. Cara mereka membayar hutang budi itu adalah dengan “membayar” jabatan atau proyek-proyek yang secara khusus untuk orang-orang parpol tertentu tersebut.
Dalam praktik ini, kolusi pun terjadi lagi, bahkan mungkin korupsi karena perputaran uang ada di lingkaran mereka. Terlepas dari itu, pada akhirnya, yang berkuasa adalah parpol itu sendiri. Padahal, banyak parpol yang ideologinya hampir tidak berjuntrung dengan ideologi dan kepentingan rakyat. Orang bilang, keuangan yang maha kuasa.
Mutu negara kita, jika memang dikuasai oleh para artis, dan kemudian hanya menjadi boneka parpol, tentulah bukan sesuatu yang memberi harapan banyak. Kecuali jika parpol kita mau berbenah diri, dan menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan yang layak dipertahankan secara konsisten dan  teruji. * * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar