Oleh
Aprinus Salam
Memahami arti rahasia sejarah, mungkin
tidak terlalu sulit. Paling tidak bisa dimaksudkan sebagai upaya pemahaman
filosofis terhadap kerja-kerja sejarah berdasarkan teori, perspektif, dan
metode-metode tertentu sehingga berbagai peristiwa yang sudah terjadi, yang
terlipat oleh ruang dan waktu, yang jika tidak dikuak ia akan selalu menjadi
rahasia sejarah.
Itulah sebabnya, banyak peristiwa
yang pada mulanya remang-remang, gelap, tersembunyi, semakin dibongkar dengan
cara-cara tertentu, semakin memperlihatkan sisi-sisi terangnya. Akan tetapi,
apa dan bagaimanapun upaya pemahaman terhadap berbagai peristiwa yang pernah
terjadi itu, tidak akan pernah sepenuhnya benar, kecuali dalam perspektif
bagaimana peristiwa itu dipahami. Tidak ada sebuah kajian sejarah, selengkap
apa pun, yang dapat mengetahui suatu peristiwa secara benar dan utuh.
Peristiwa jatuhnya Soeharto,
barangkali akan selalu dikuak dalam rentang waktu yang panjang. Akan tetapi,
tidak akan pernah ada sebuah kajian sejarah yang dapat membongkar peristiwa
jatuhnya Soeharto secara lengkap dan paling benar, kecuali hal-hal yang dapat
diketahui, yang dapat diakses dengan berbagai cara, hingga ke tingkat yang
dianggap rahasia.
Demikian pula peristiwa bubarnya
Majapahit hingga berdirinya kerajaan Mataram, lengsernya Soekarno, Habibie, dan
Abdurrahman Wahid. Kita hanya dapat mengetahui berbagai kajian historis
terjadinya pergeseran kekuasaan tersebut berdasarkan kajian-kajian tertentu,
tetapi tidak tertutup kemungkinan jika kajian tersebut hanya dapat dipahami
berdasarkan satu sisi kebenaran dalam dirinya saja.
Itulah sebabnya, banyak orang
semakin percaya bahwa pada dasarnya sejarah adalah sebuah fiksi tersendiri. Ia
tidak lebih sesuatu yang diceritakan ulang, yang dianggap berdasarkan
fakta-fakta dan data-data tertentu, tetapi cerita tersebut tidak dapat
membuktikan kebenarannya bila ada cerita lain yang juga dianggap berdasarkan
fakta dan data yang lain. Ini pula yang membuat banyak orang lambat laun mulai
percaya bahwa fiksi sebuah cerita adalah sejarah tersendiri pula. Sejarah
adalah fiksi dan sebaliknya.
* * *
Hal di atas adalah sebuah cerita
tentang rahasia sejarah. Pertanyaannya adalah, mengapa hal tersebut terjadi.
Dalam konteks inilah kita berbenturan dengan sebuah kata, sebuah konsep, yang
juga telah disebut, yakni rahasia. Rahasialah yang membuat berbagai kajian
sejarah hanya bisa membenarkan dirinya sendiri. Rahasialah yang membuat
kajian-kajian sejarah tidak lebih sebuah fiksi yang berdasarkan fakta dan
data-data tertentu yang dapat ditemukan dalam berbagai caranya, dibaca dan
dikaji ulang, direkonstruksi, dan kemudian ditulis ulang (didongengkan).
Saya membayangkan peristiwa Ken
Arok menjadi raja, berdirinya kerajaan Mataram, Supersemar, peristiwa 27 Juli
1997, dan sebagainya, juga akan ditulis ulang. Untuk peristiwa masa lalu,
begitu banyak dokumen-dokumen, naskah-naskah, dan catatan yang harus dibaca dan
dikaji. Untuk kejadian yang lebih kontemporer, bukan saja dokumen dan catatan
yang berserakan yang harus dipelajari ulang, tetapi pun begitu banyak tokoh dan
para saksi yang akan diwawancarai sehingga jadilah sebuah cerita sejarah yang
relatif lengkap, mungkin.
Persoalannya, pertama, dokumen
atau tulisan apapun tentu tidak pernah membuktikan apapun, karena dalam banyak
hal ia tidak lebih adalah sebuah teks, yang tidak bisa dijadikan patokan
kebenaran. Apalagi sebuah teks tertulis itu tidak lebih suatu media yang
dianggap mampu merekam, menyimpan, apa yang terkandung dalam teks itu sendiri,
tidak segala sesuatu yang ada dalam benak penulis teks, bahkan tidak suasana
peristiwa yang tidak mampu tertampung oleh teks, seperti bau, rasa ngeri, dan
sebagainya.
Lebih parah lagi sebuah teks
tertulis, tidak mampu merekam berbagai teks lain dalam berbagai benak penulis.
Bahkan penulis teks itu sendiri tidak tahu apa saja yang diketahuinya, tidak
tahu (atau mungkin lupa) tentang yang diketahuinya, tidak pernah mengetahui apa yang diketahui
orang lain, bahkan tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa pada dasarnya teks
telah menulis sendiri sejarahnya, dan/atau keterbatasan kata dalam menampung
berbagai informasi yang diketahuinya.
Kedua, dalam soal wawancara,
apakah setiap orang yang diwawancarai akan menceritakan semua hal yang
diketahuinya. Pasti tidak. Kita mengira, saat ini Soeharto adalah salah satu
tokoh kunci dan terpenting dalam peristiwa Supersemar, ataupun peristiwa
kejatuhannya. Kita andaikan jika Soeharto bersedia diwawancarai (sayang
sekarang beliau sudah uzur dan pasti pelupa). Apakah Soeharto akan menceritakan
semua hal yang diketahuinya, apalagi jika itu menyangkut sesuatu yang akan
merugikan citra dirinya. Pasti tidak.
Anggaplah kemudian ada
tokoh-tokoh kunci lain yang dianggap paling tahu tentang itu selain Soeharto.
Apakah ia juga bisa menceritakan semua yang diketahuinya, mungkin bisa. Tapi
apakah ada yang bisa menjamin bahwa tokoh ini bisa menceritakan sesuatu yang
diketahui Soeharto, atau apakah tokoh ini mengetahui semua yang diketahui
Soeharto. Pasti tidak.
Barangkali, dari sinilah kemudian
kita memutuskan bahwa sejarah adalah peristiwa empirik sejauh yang bisa
diketahui dan dibuktikan. Selain itu, bukan sejarah.
* * *
Kejadian di atas mungkin dianggap
yang besar-besar. Artinya, yang melibatkan kepentingan dan nasib orang banyak.
Akan tetapi, itu tidak menutup kemungkinan bahwa demikian banyak peristiwa
sejarah dalam kehidupan sehari-hari, jika itu tetap dianggap sejarah, sangat
tertutup rapat oleh pintu-pintu rahasia.
Sejarah hubungan seks tidak
resmi, misalnya, adalah kejadian sejarah (individual) yang paling banyak
menyimpan rahasia. Padahal, dalam sejarahnya, kejadian yang biasanya terjadi di
ruang tertutup ini, begitu banyak peristiwa berlangsung. Sejarah tentang kisah
sukses seseorang, mungkin dengan KKN, dan sebagainya, akan selalu menjadi
rahasia orang per orang.
Artinya, kalau boleh disimpulkan,
yang paling menarik memang sejarah kejahatan. Dalam wilayah inilah rahasia
paling banyak tersembunyi. Bahkan ada sebuah teori yang mengatakan bahwa
sebetulnya teori-teori yang dikembangkan dalam kriminologi itu tidak cukup
canggih. Hal tersebut terjadi karena data kejahatan yang dijadikan bahan kajian
adalah bentuk kejahatan yang hanya bisa diketahui saja. Karena seandainya
kejahatan itu canggih, maka kejahatan itu justru terselubung, tidak diketahui,
tidak terdeteksi, atau minimal kejahatan yang tidak dilaporkan.
Itu artinya, sejauh ini berbagai
kejahatan yang dikaji adalah kejahatan yang terpantau, dapat diketahui, yang
tertangkap, yang tidak canggih. Yang tidak diketahui tentu saja sulit untuk
dikaji, walau mungkin saja masih tetap dapat diperhitungkan. Itupun hanya
dengan berbagai perkiraan dan prasangka. Apalagi, siapa yang dengan rela dan
sepenuh hati akan menceritakan kejahatannya.
* * *
Begitu banyak hal sesungguhnya
tetap rahasia. Sebuah rahasia tetaplah rahasia, tetapi bukan rahasia sejarah
seperti yang telah diurai di depan. Sangat mungkin sebuah kajian sejarah
mengungkap sesuatu yang selama ini dianggap rahasia. Namun, sebagai mana
hakikat rahasia itu sendiri, sejarah rahasia sangat mungkin hanya berkutat di
sekitar pintu-pintu masuk ke rahasia, tetapi tidak akan mampu masuk ke dalam
rahasia. Artinya, sejarah rahasia adalah sebuah uraian tentang rahasia, tetapi
bukan rahasia itu sendiri.
Itulah sebabnya, saya semakin
yakin bahwa sebetulnya begitu banyak rahasia-rahasia dalam sejarah kita belum
terungkap, dan tidak akan pernah terungkap. Dia selalu terselubung dalam setiap
teks-teks. Dia selalu bersembunyi, atau bisa jadi disembunyikan, dalam
syaraf-syarat ingatan para pelaku sejarah. Dan syaraf-syaraf ingatan itu akan
tertelan bumi bersamaan mereka yang satu per satu juga kembali ke tanah.
Kemudian, seperti layaknya sebuah
film, kita mengandaikan ada sebuah alat teknologis yang mampu merekam berbagai
hal yang disimpan dalam syaraf-syaraf ingatan tersebut. Ini pun masih
bermasalah. Pertama, kapan alat teknologis seperti itu bisa kita buat, artinya
sebuah pengandaian tetaplah sebuah pengandaian. Kedua, berapa banyak syaraf
yang harus kita rekam. Ketiga, bagaimana cara membuktikan sebuah rekaman dari
syaraf-syaraf ingatan tersebut benar. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar