Jumat, 20 April 2012

WAJAH SENYUM TAK BERSALAH



Oleh Aprinus Salam

Ada hal menarik yang coba dipertontonkan oleh para tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan (khususnya koruptor) di televisi. Wajah itu adalah wajah penuh senyum. Dan bahkan dengan percaya diri tidak terlihat kesan malu di wajah itu. Tidak ada kesan merasa bersalah dan prihatin di wajah itu.
Tentu, sejauh pengadilan belum membuktikan bahwa para pelaku kejahatan itu bersalah, kita tidak boleh berprasangka bahwa para pelaku itu pasti telah melakukan kesalahan. Apa pun yang terjadi, para tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan berhak membela dirinya, hingga hukum positif membuktikan bahwa mereka terbukti bersalah dan layak dihukum.
Herannya, ketika kejahatan para pelaku itu telah ditayangkan dan diberitakan, berupa bukti-bukti rekaman video, rekaman telepon, dan gambar-gambar peristiwa kejahatan lainnya, wajah senyum itu tak pernah meluntur. Apa yang terjadi?
* * *
Pertama, mereka tahu bahwa melakukan kejahatan di Indonesia itu biasa. Mereka paham, siapa yang tidak pernah melakukan kejahatan di Indonesia. Hidup dalam negara miskin dan semrawut ini, siapa pun dia tidak akan terhindar dari perbuatan jahat. Mereka hanya sial dan tertangkap basah. Mereka segelintir orang yang tidak beruntung karena secara tidak sengaja kejahatannya diketahui.
Kedua, mereka tahu melakukan kejahatan tidak harus malu. Ya, kenapa mereka harus malu. Jangankan mereka yang “orang awam”, lha mereka para alim ulama, mereka para intelektual, peneliti, mahasiswa, guru, dan para pemimpin lainnya juga korupsi, atau melakukan kejahatan lainnya.
Ketiga, mereka tahu bahwa memasang wajah senyum itu adalah “kepribadian” masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Senyum itu sebagai tanda bahwa hatinya sedang riang karena dapat memberikan sedekah senyum. Jadi, senyum itu sebagai tanda kebaikan mereka, atau mereka baik-baik saja dan perlu memberi senyum.
Keempat, mereka tahu bahwa mereka hanya dikambinghitamkan. Dalam sistem birokrasi yang kita bangun itu, kemudian kita mengenal istilah bahwa korupsi itu dilakukan secara berjamaah. Dalam jamaah koruptor itu semua orang sebetulnya terlibat. Mereka “sengaja” ditangkap untuk dikambinghitamkan agar jamaah yang lain selamat, Jadi, ada juga perasaan di hati mereka justru yang tertangkap itu telah bertindak sebagai pahlawan.  
Kelima, mereka tahu bahwa toh nanti hukum bisa dibeli. Artinya, tidak ada yang perlu ditakutkan jika melakukan kejahatan korupsi. Uang akan menyelesaikan segalanya. Siapa kita yang bukan orang munafik tidak mau uang? Bahkan penegak hukum seperti jaksa, hakim, pengacara, polisi, pun ternyata tak kebal suap. Senyum adalah tanda kedermawanan.
Keenam, mereka tahu bahwa kelak setelah dihukum mereka bisa bersenang-senang. Mungkin mereka akan dihukum 1 atau bahkan hingga 7 tahun. Tapi dengan uang korupsi milyaran yang telah “disimpan” itu, mereka menganggap hukuman 1 hingga 7 tahun itu seperti bertapa sebentar, seperti mejalani hidup prihatin. Mereka percaya, setelah masa prihatin di penjara, maka masa untuk bersenang-senang akan datang sebagai imbalannya.
Ketujuh, terlepas dari itu, mereka tahu bahwa bagaimanapun mereka harus tampil layak lihat dan memenuhi kepantasan. Prasangka buruknya adalah bahwa sebetulnya mereka tidak percaya diri terhadap wajah mereka yang tidak ganteng atau tidak cantik. Untuk menutupi itu, mereka harus tampil senyum sehingga terlihat tetap ganteng atau cantik.
* * *
Tentu kita tidak tahu persis, kira-kira senyum yang mana yang diumbar para koruptor jahat tersebut. Mungkin salah satunya, mungkin salah dua, mungkin semuanya.
Akan tetapi, mengingat kejahatan korupsi di Indonesia adalah keterlibatan berjamaah, sangat mungkin senyum mereka adalah senyum pahlawan. Jadi, jika Anda ingin menjadi pahlawan, maka salah satu cara adalah dengan melakukan korupsi. Syukur jika korupsi itu tidak ketahuan, karena Anda tetap menjadi pahlawan di lingkungan jamaah Anda. Wajah senyum Anda tentu tetap dapat ditebarkan, terutama di lingkungan jamaah sesama koruptor.
Terlepas dari itu, ada hal menarik lain, bahwa biasanya para pelaku kejahatan itu tiba-tiba tampil memakai kopiah, atau kopiah haji berwarna putih, dan memakai sarung. Seperti memperlihatkan bahwa mereka sebetulnya sangat relijius, tapi terjebak dalam kejahatan yang dia sendiri tidak mau melakukan.
Kemudian setelah tertangkap, dengan wajah tetap mengumbar senyum, setiap pembicaraan mereka mengucap Astagfirullah, Alhamdulillah, Allah sedang memberi cobaan, dan ungkapan lain yang seolah dengan tertangkapnya para koruptor itu, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa sebetulnya Tuhan tahu bahwa dia tidak bersalah.  
Yang pasti, mereka para koruptor itu adalah para aktor yang mampu menyembunyikan kegelisahan mereka. Mereka mampu “menjadi orang lain”, mampu memerankan peran yang bukan dirinya sendiri selama menjadi pesakitan.
Saya yakin, ketika mereka sendiri, tidak ada orang yang melihat, maka wajah aslinya akan muncul dalam kesepian yang sangat. Wajah asli itu adalah wajah yang murung, wajah yang menyesal, wajah yang pedih. Dalam kondisi itu, mereka sedang tidak menjadi aktor dunia panggung sandiwara. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar