Oleh Aprinus Salam
Ada hal menarik yang coba dipertontonkan oleh para
tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan (khususnya koruptor) di televisi. Wajah
itu adalah wajah penuh senyum. Dan bahkan dengan percaya diri tidak terlihat
kesan malu di wajah itu. Tidak ada kesan merasa bersalah dan prihatin di wajah
itu.
Tentu, sejauh pengadilan belum membuktikan bahwa
para pelaku kejahatan itu bersalah, kita tidak boleh berprasangka bahwa para
pelaku itu pasti telah melakukan kesalahan. Apa pun yang terjadi, para
tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan berhak membela dirinya, hingga hukum
positif membuktikan bahwa mereka terbukti bersalah dan layak dihukum.
Herannya, ketika kejahatan para pelaku itu telah
ditayangkan dan diberitakan, berupa bukti-bukti rekaman video, rekaman telepon,
dan gambar-gambar peristiwa kejahatan lainnya, wajah senyum itu tak pernah
meluntur. Apa yang terjadi?
* * *
Pertama, mereka tahu bahwa melakukan kejahatan di
Indonesia itu biasa. Mereka paham, siapa yang tidak pernah melakukan kejahatan
di Indonesia. Hidup dalam negara miskin dan semrawut ini, siapa pun dia tidak
akan terhindar dari perbuatan jahat. Mereka hanya sial dan tertangkap basah.
Mereka segelintir orang yang tidak beruntung karena secara tidak sengaja
kejahatannya diketahui.
Kedua, mereka tahu melakukan kejahatan tidak harus
malu. Ya, kenapa mereka harus malu. Jangankan mereka yang “orang awam”, lha
mereka para alim ulama, mereka para intelektual, peneliti, mahasiswa, guru, dan
para pemimpin lainnya juga korupsi, atau melakukan kejahatan lainnya.
Ketiga, mereka tahu bahwa memasang wajah senyum itu
adalah “kepribadian” masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang
ramah. Senyum itu sebagai tanda bahwa hatinya sedang riang karena dapat
memberikan sedekah senyum. Jadi, senyum itu sebagai tanda kebaikan mereka, atau
mereka baik-baik saja dan perlu memberi senyum.
Keempat, mereka tahu bahwa mereka hanya
dikambinghitamkan. Dalam sistem birokrasi yang kita bangun itu, kemudian kita
mengenal istilah bahwa korupsi itu dilakukan secara berjamaah. Dalam jamaah
koruptor itu semua orang sebetulnya terlibat. Mereka “sengaja” ditangkap untuk
dikambinghitamkan agar jamaah yang lain selamat, Jadi, ada juga perasaan di
hati mereka justru yang tertangkap itu telah bertindak sebagai pahlawan.
Kelima, mereka tahu bahwa toh nanti hukum bisa
dibeli. Artinya, tidak ada yang perlu ditakutkan jika melakukan kejahatan
korupsi. Uang akan menyelesaikan segalanya. Siapa kita yang bukan orang munafik
tidak mau uang? Bahkan penegak hukum seperti jaksa, hakim, pengacara, polisi,
pun ternyata tak kebal suap. Senyum adalah tanda kedermawanan.
Keenam, mereka tahu bahwa kelak setelah dihukum mereka
bisa bersenang-senang. Mungkin mereka akan dihukum 1 atau bahkan hingga 7
tahun. Tapi dengan uang korupsi milyaran yang telah “disimpan” itu, mereka menganggap
hukuman 1 hingga 7 tahun itu seperti bertapa sebentar, seperti mejalani hidup prihatin.
Mereka percaya, setelah masa prihatin di penjara, maka masa untuk
bersenang-senang akan datang sebagai imbalannya.
Ketujuh, terlepas dari itu, mereka tahu bahwa
bagaimanapun mereka harus tampil layak lihat dan memenuhi kepantasan. Prasangka
buruknya adalah bahwa sebetulnya mereka tidak percaya diri terhadap wajah
mereka yang tidak ganteng atau tidak cantik. Untuk menutupi itu, mereka harus
tampil senyum sehingga terlihat tetap ganteng atau cantik.
* * *
Tentu kita tidak tahu persis, kira-kira senyum
yang mana yang diumbar para koruptor jahat tersebut. Mungkin salah satunya,
mungkin salah dua, mungkin semuanya.
Akan tetapi, mengingat kejahatan korupsi di
Indonesia adalah keterlibatan berjamaah, sangat mungkin senyum mereka adalah
senyum pahlawan. Jadi, jika Anda ingin menjadi pahlawan, maka salah satu cara
adalah dengan melakukan korupsi. Syukur jika korupsi itu tidak ketahuan, karena
Anda tetap menjadi pahlawan di lingkungan jamaah Anda. Wajah senyum Anda tentu
tetap dapat ditebarkan, terutama di lingkungan jamaah sesama koruptor.
Terlepas dari itu, ada hal menarik lain, bahwa
biasanya para pelaku kejahatan itu tiba-tiba tampil memakai kopiah, atau kopiah
haji berwarna putih, dan memakai sarung. Seperti memperlihatkan bahwa mereka
sebetulnya sangat relijius, tapi terjebak dalam kejahatan yang dia sendiri
tidak mau melakukan.
Kemudian setelah tertangkap, dengan wajah tetap
mengumbar senyum, setiap pembicaraan mereka mengucap Astagfirullah, Alhamdulillah,
Allah sedang memberi cobaan, dan ungkapan lain yang seolah dengan tertangkapnya
para koruptor itu, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa
sebetulnya Tuhan tahu bahwa dia tidak bersalah.
Yang pasti, mereka para koruptor itu adalah para
aktor yang mampu menyembunyikan kegelisahan mereka. Mereka mampu “menjadi orang
lain”, mampu memerankan peran yang bukan dirinya sendiri selama menjadi
pesakitan.
Saya yakin, ketika mereka sendiri, tidak ada orang
yang melihat, maka wajah aslinya akan muncul dalam kesepian yang sangat. Wajah
asli itu adalah wajah yang murung, wajah yang menyesal, wajah yang pedih. Dalam
kondisi itu, mereka sedang tidak menjadi aktor dunia panggung sandiwara.
* * *
Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar