Rabu, 13 Maret 2013

YANG TUA, YANG TAMAK, YANG BERKUASA Oleh Aprinus Salam



Konstelasi kekuasaan di Indonesia, memang tidak separah seperti yang digambarkan film Curse of the Golden Flower, sebuah film yang disutradarai Zhang Yimou. Diceritakan dalam film yang ber-setting tahun 900-an itu, bagaimana di lingkaran kekuasaan kerajaan (China), raja yang telah lama berkuasa, permaisuri, anak, paman, dan beberapa petinggi melakukan berbagai intrik dan tipu muslihat busuk. Mereka, secara diam-diam dan dalam berbagai cara, saling menjahati dan membunuh, berebut kekuasaan untuk menjadi penguasa.
Di puncak konflik, akhirnya sang raja (lama) dengan indah dan sukses membunuh pesaingnya, yakni permaisuri, sebagian jenderalnya, bahkan anak-anaknya yang berpotensi merebut kekuasaan sang raja kelak. Sang raja tetap bersinggasana, dengan memegang kekuasaan tanpa tanding, tanpa mengetahui bahwa sebetulnya rakyatnya sudah sangat muat dengan raja zalim itu.
Tentu dalam sebuah cerita selalu ada tokoh baik. Tokoh baik itu adalah sang pangeran, anak putra raja dan permaisuri. Pangeran itu berilmu sangat tinggi, cerdas, dan amat tangguh. Berbagai peperangan dalam membela raja (Ayahnya) selalu ia menangkan. Tak pelak, salah satu kekuatan dan kebesaran kerajaan harus diatribusikan kepada jasa-jasanya.
Kelemahan pangeran muda itu, pertama, ia amat mencintai dan menghormati orang tuanya. Kedua, ia lebih sebagai seorang satria daripada seorang politisi atau intelektual. Kelemahan pertama membuat ia tidak tahu jika ia “dikerjain” oleh orang tuanya. Kelemahan kedua,  membuat ia juga tidak tahu ke mana arah perkembangan politik kekuasaan.
Bahkan di akhir cerita ia terpaksa memakan buah simalakama, membela Raja ia hidup, ibunya yang mati. Membela Ibu, ayahnya yang mati. Karena dia satria, dia memilih berkorban dirinya yang mati, dengan harapan ibu dan ayahnya tidak mati. Sang pangeran itu tidak tahu bahwa pada akhrinya ibunya juga dibunuh secara perlahan-lahan, dengan sistem racun, oleh sang ayah.
* * *
Hal yang menarik bagi refleksi transisi dan prosesi kekuasaan di Indonesia adalah bagaimana film itu menggambarkan para orang tua, baik raja dan para jenderal, juga permaisuri, memanfaatkan anak-anak muda, bahkan anaknya sendiri, sebagai “alat” untuk melanggengkan ketamakan atas kekuasaan yang masih dan sedang dipegang para orang tua.
Belakangan ini di Indonesia salah satu isu yang cukup santer adalah kehendak adanya semacam prosesi dan transformasi kekuasaan dari para orang tua (usia di atas 60 tahun) kepada generasi yang lebih muda (dengan kisaran usia antara 35 hingga maksimal 50 tahun). Ada keengganan dari para orang tua memberikan roda kekuasaan kepada generasi muda dengan alasan anak muda belum siap.
Alasan itu tentu sangat meragukan, tidak siap dalam pengertian apa. Argumen itu, disamping lemah, juga mengada-ada. Paling tidak Rusia dan Amerika telah membuktikan bahwa kekuasaan di tangan anak muda, yang masih berusia sekitar 42 atau 43 tahun, tidak memperlihatkan sebagai satu kepemimpinan yang prematur. Bahkan di tangan anak muda, Amerika dan Rusia memberikan banyak perubahan yang lebih kondusif untuk masa depan dunia.
Memang, di lain pihak, anak muda (Indonesia) terkesan kurang “sakti”, baik dari segi modal dan terutama pengalaman (berperang atau berpolitik). Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, dalam sejarah politik yang panjang, hanya baru beberapa tahun ini saja anak muda mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik kekuasaan. Kita tahu, pada waktu rezim Orde Baru berkuasa, pendidikan dan pengalaman berpolitik anak muda dimandulkan.
Kedua, kekuasaan politik di Indonesia nyaris secara langsung berhubungan dengan kemewahan, kenikmatan, dan kekayaan. Di tengah krisis dan multi-dimensi kemiskinan massif, maka pilihan untuk menjadi penguasa (dalam segala levelnya) adalah pilihan yang masuk akal. Pilihan untuk tetap berkuasa sekaligus adalah pilihan dalam rangka menyelamatkan diri sendiri di tengah masa depan yang tidak pasti. Artinya, terdapat faktor aji mumpung dalam konstelasi kekuasaan seperti itu. Orang yang duluan berkuasa, akan mempertahankan kekuasaannya sekuat mungkin.
* * *
Hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa sejarah keberadaan sebuah bangsa dan negara berjalan ke depan. Mati hidupnya sebuah negara dan bangsa ada di tangan anak muda, dan anak muda pada generasi-generasi berikutnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan apapun yang dapat diterima jika anak muda “dihalang-halangi” atau tidak segera diberi kesempatan untuk berlatih menjadi penguasa atau mendapat kesempatan memimpin dan mengendalikan negara sesuai dengan kehendak dan aspirasi zamannya. Sejarah tidak pernah berhenti, walaupun mungkin kadang-kadang bisa saja melompat-lompat.
Sebaliknya, anak muda yang bakal berkuasa, jauh hari sebelumnya haris pula memiliki kesadaran bahwa pelajaran tamak kekuasaan seperti diajarkan oleh generasi tua terdahulu harus segera dihentikan/dipotong. Kalau tidak, maka generasi kini tidak ada bedanya dengan generasi tua yang tamak kekuasaan.
Generasi muda kini, jika kelak berkuasa, haruslah tahu diri jika telah memimpin negara ini, sambil mengatur negara ini agar lebih baik, salah satu agenda yang juga perlu dipersiapkan adalah melakukan kaderisasi kepemimpinan. Begitu kelak telah muncul generasi baru, maka generasi baru itu harus segera diberi kesempatan untuk memimpin dan mengatur negara sesuatu dengan kehendak dan aspirasi zamannya. 
Kembali ke film Curse of the Golden Flower, film itu mengajarkan dan mengingatkan kembali kepada kita bahwa bagaimanapun kekuasaan itu adalah sesuatu yang fana. Sesakti-saktinya seseorang, maka dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, seseorang hanya bisa berkuasa sekitar 30 hingga 35 tahun.
Ketika kekuasaan dipertahankan dalam segala cara, seperti pengalaman Soeharto, maka cara-cara itu hanya menimbulkan dendam dan pelajaran buruk bagi sistem dan konstelasi kekuasan di Indonesia. Jejak-jejak pelajaran yang diajarkan Soeharto itu hingga hari masih menjadi trauma masyarakat Indonesia. Kekuasaan (politik) menjadi sesuatu yang dilematis dan problematis di Indonesia.
Curse of the Golden Flower dan kekuasan Soeharto memberi pelajaran kepada kita bahwa kekuasaan harus dibersihkan dari ambisi-ambisi pribadi. Jika tidak, cepat atau lambat, kekuasaan akan punah dan rakyat akan mengenangkan sebagai raja atau presiden yang zalim dan otoriter. Dan itu tidak akan pernah bisa dihilangkan sejarah, sampai kapan pun.    
Aprinus Salam, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.