Konstelasi
kekuasaan di Indonesia, memang tidak separah seperti yang digambarkan film Curse of the Golden Flower, sebuah film
yang disutradarai Zhang Yimou. Diceritakan dalam film yang ber-setting tahun 900-an itu, bagaimana di
lingkaran kekuasaan kerajaan (China), raja yang telah lama berkuasa,
permaisuri, anak, paman, dan beberapa petinggi melakukan berbagai intrik dan
tipu muslihat busuk. Mereka, secara diam-diam dan dalam berbagai cara, saling
menjahati dan membunuh, berebut kekuasaan untuk menjadi penguasa.
Di
puncak konflik, akhirnya sang raja (lama) dengan indah dan sukses membunuh
pesaingnya, yakni permaisuri, sebagian jenderalnya, bahkan anak-anaknya yang
berpotensi merebut kekuasaan sang raja kelak. Sang raja tetap bersinggasana,
dengan memegang kekuasaan tanpa tanding, tanpa mengetahui bahwa sebetulnya
rakyatnya sudah sangat muat dengan raja zalim itu.
Tentu
dalam sebuah cerita selalu ada tokoh baik. Tokoh baik itu adalah sang pangeran,
anak putra raja dan permaisuri. Pangeran itu berilmu sangat tinggi, cerdas, dan
amat tangguh. Berbagai peperangan dalam membela raja (Ayahnya) selalu ia
menangkan. Tak pelak, salah satu kekuatan dan kebesaran kerajaan harus
diatribusikan kepada jasa-jasanya.
Kelemahan
pangeran muda itu, pertama, ia amat mencintai dan menghormati orang tuanya.
Kedua, ia lebih sebagai seorang satria daripada seorang politisi atau
intelektual. Kelemahan pertama membuat ia tidak tahu jika ia “dikerjain” oleh
orang tuanya. Kelemahan kedua, membuat
ia juga tidak tahu ke mana arah perkembangan politik kekuasaan.
Bahkan
di akhir cerita ia terpaksa memakan buah simalakama, membela Raja ia hidup,
ibunya yang mati. Membela Ibu, ayahnya yang mati. Karena dia satria, dia
memilih berkorban dirinya yang mati, dengan harapan ibu dan ayahnya tidak mati.
Sang pangeran itu tidak tahu bahwa pada akhrinya ibunya juga dibunuh secara
perlahan-lahan, dengan sistem racun, oleh sang ayah.
* * *
Hal
yang menarik bagi refleksi transisi dan prosesi kekuasaan di Indonesia adalah
bagaimana film itu menggambarkan para orang tua, baik raja dan para jenderal,
juga permaisuri, memanfaatkan anak-anak muda, bahkan anaknya sendiri, sebagai
“alat” untuk melanggengkan ketamakan atas kekuasaan yang masih dan sedang dipegang
para orang tua.
Belakangan
ini di Indonesia salah satu isu yang cukup santer adalah kehendak adanya
semacam prosesi dan transformasi kekuasaan dari para orang tua (usia di atas 60
tahun) kepada generasi yang lebih muda (dengan kisaran usia antara 35 hingga maksimal
50 tahun). Ada keengganan dari para orang tua memberikan roda kekuasaan kepada
generasi muda dengan alasan anak muda belum siap.
Alasan
itu tentu sangat meragukan, tidak siap dalam pengertian apa. Argumen itu,
disamping lemah, juga mengada-ada. Paling tidak Rusia dan Amerika telah
membuktikan bahwa kekuasaan di tangan anak muda, yang masih berusia sekitar 42
atau 43 tahun, tidak memperlihatkan sebagai satu kepemimpinan yang prematur.
Bahkan di tangan anak muda, Amerika dan Rusia memberikan banyak perubahan yang
lebih kondusif untuk masa depan dunia.
Memang,
di lain pihak, anak muda (Indonesia) terkesan kurang “sakti”, baik dari segi
modal dan terutama pengalaman (berperang atau berpolitik). Ada beberapa sebab
mengapa hal itu terjadi. Pertama, dalam sejarah politik yang panjang, hanya baru
beberapa tahun ini saja anak muda mendapat kesempatan untuk berpartisipasi
dalam politik kekuasaan. Kita tahu, pada waktu rezim Orde Baru berkuasa,
pendidikan dan pengalaman berpolitik anak muda dimandulkan.
Kedua,
kekuasaan politik di Indonesia nyaris secara langsung berhubungan dengan
kemewahan, kenikmatan, dan kekayaan. Di tengah krisis dan multi-dimensi
kemiskinan massif, maka pilihan untuk menjadi penguasa (dalam segala levelnya)
adalah pilihan yang masuk akal. Pilihan untuk tetap berkuasa sekaligus adalah
pilihan dalam rangka menyelamatkan diri sendiri di tengah masa depan yang tidak
pasti. Artinya, terdapat faktor aji
mumpung dalam konstelasi kekuasaan seperti itu. Orang yang duluan berkuasa,
akan mempertahankan kekuasaannya sekuat mungkin.
* * *
Hal
yang perlu disadari bersama adalah bahwa sejarah keberadaan sebuah bangsa dan
negara berjalan ke depan. Mati hidupnya sebuah negara dan bangsa ada di tangan
anak muda, dan anak muda pada generasi-generasi berikutnya.
Dengan
demikian, tidak ada alasan apapun yang dapat diterima jika anak muda
“dihalang-halangi” atau tidak segera diberi kesempatan untuk berlatih menjadi
penguasa atau mendapat kesempatan memimpin dan mengendalikan negara sesuai
dengan kehendak dan aspirasi zamannya. Sejarah tidak pernah berhenti, walaupun
mungkin kadang-kadang bisa saja melompat-lompat.
Sebaliknya,
anak muda yang bakal berkuasa, jauh hari sebelumnya haris pula memiliki
kesadaran bahwa pelajaran tamak kekuasaan seperti diajarkan oleh generasi tua
terdahulu harus segera dihentikan/dipotong. Kalau tidak, maka generasi kini
tidak ada bedanya dengan generasi tua yang tamak kekuasaan.
Generasi
muda kini, jika kelak berkuasa, haruslah tahu diri jika telah memimpin negara
ini, sambil mengatur negara ini agar lebih baik, salah satu agenda yang juga
perlu dipersiapkan adalah melakukan kaderisasi kepemimpinan. Begitu kelak telah
muncul generasi baru, maka generasi baru itu harus segera diberi kesempatan
untuk memimpin dan mengatur negara sesuatu dengan kehendak dan aspirasi
zamannya.
Kembali
ke film Curse of the Golden Flower,
film itu mengajarkan dan mengingatkan kembali kepada kita bahwa bagaimanapun
kekuasaan itu adalah sesuatu yang fana. Sesakti-saktinya seseorang, maka dalam
sejarah kekuasaan di Indonesia, seseorang hanya bisa berkuasa sekitar 30 hingga
35 tahun.
Ketika
kekuasaan dipertahankan dalam segala cara, seperti pengalaman Soeharto, maka
cara-cara itu hanya menimbulkan dendam dan pelajaran buruk bagi sistem dan
konstelasi kekuasan di Indonesia. Jejak-jejak pelajaran yang diajarkan Soeharto
itu hingga hari masih menjadi trauma masyarakat Indonesia. Kekuasaan (politik)
menjadi sesuatu yang dilematis dan problematis di Indonesia.
Curse of the Golden Flower dan kekuasan Soeharto memberi pelajaran kepada kita bahwa kekuasaan
harus dibersihkan dari ambisi-ambisi pribadi. Jika tidak, cepat atau lambat,
kekuasaan akan punah dan rakyat akan mengenangkan sebagai raja atau presiden
yang zalim dan otoriter. Dan itu tidak akan pernah bisa dihilangkan sejarah,
sampai kapan pun.
Aprinus Salam, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar