Oleh Aprinus Salam
Belakangan
ini, semakin banyak para artis yang menjadi pejabat, baik setingkat (wakil)
gubernur, bupati, atau anggota legislatif di pusat ataupun daerah. Di antara
mereka sejumlah artis lain sudah antri menjadi calon bupati atau gubernur.
Tidak kurang, Dewi Persik pun mengaku sudah diminta parpol tertentu untuk
dijadikan caleg.
Apa
yang sedang terjadi di negara kita ini?
Dulu
ada cerita bahwa jika Anda ingin menjadi orang sukses, maka sebaiknya Anda bercita-cita
menjadi tentara. Dengan menjadi tentara, Anda bisa menjadi pejabat, menjadi
anggota DPR, gubernur, bupati, camat, mubalik, dan menjadi pengusaha sekaligus.
Itulah sebabnya, pada zaman Orde Baru, negara kita disebut sebagai negara
militer. Hampir seluruh lini jabatan penting dipegang oleh para militer.
Sekarang
semuanya berubah. Jika Anda ingin menjadi sukses, maka bercita-citalah menjadi
artis. Dengan menjadi artis, maka Anda bisa menjadi gubernur, bupati, atau
anggota legislatif, dan tentu menjadi mubalik dan pengusaha. Sangat mungkin ke
depan (sebentar lagi) negara kita menjadi negara artis.
Tentu
fenomena ini bukan gejala baru. Di Amerika, beberapa aktor terkenal sudah
mendahului menjadi gubernur atau bahkan presiden. Ronald Reagen yang sempat menjadi
presiden Amerika, pada dasarnya adalah seorang artis.
Kembali
ke pertanyaan semula, apa yang sedang terjadi di negara kita ini dan ke mana
arah perkembangan tersebut?
Kuasa Media
Seperti halnya berkarier dalam
militer, menjadi artis terkenal itu tidak mudah. Menjadi artis itu perlu kerja
keras, disiplin, dan bakat. Dan di luar itu adalah keberuntungan, atau nasib
baik. Banyak orang yang bisa bekerja keras dan disiplin, tapi tidak memiliki
keberuntungan yang baik. Akhirnya, ia hanya bisa menjadi artis jalanan.
Di luar faktor di atas, hal yang
tidak kalah pentingnya adalah faktor media (massa). Faktor terpenting dan utama
yang membuat orang sukses adalah ketika ia menjadi terkenal. Media massalahnya
yang memiliki kemampuan membuat seseorang menjadi terkenal. Ketika seseorang
telah terkenal, maka masyarakat akan memilih yang dia kenal daripada tidak sama
sekali.
Artinya,
di sisi lain, saat ini pun negara kita adalah negara media. Yakni sesungguhnya
yang berkuasa itu, seperti militer yang berkuasa, adalah media massa. Dalam
sisi ini, media massa ikut bertanggung jawab dalam mengatrol popularitas
seseorang sehingga ia menjadi artis terkenal dan kemudian menjadi pejabat
penting.
Yang
perlu dipesankan kepada media adalah bahwa media selayaknya mempopularitaskan
seseorang yang memiliki kemampuan ekstra (lebih) sehingga seseorang memang
layak “diartiskan”. Bukan karena dia cantik atau tampan, atau karena memiliki
koneksi (dan uang). Artinya, seseorang yang memiliki track record yang unggul dan memiliki kecerdasan memadai.
Kita
tahu, artis itu juga manusia dan warga Indonesia dan berhak menjadi pemimpin di
negeri ini. Dengan demikian, jika perlu, media juga memiliki kemampuan dalam
“menskenario” dan “menjagokan” pemimpin masa depan. Saya kira, banyak orang
berbakat di negeri kita ini yang bisa “diartiskan” dan kemudian “direkayasa”
untuk menjadi pejabat atau pemimpin.
Jadi Boneka Parpol
Masalahnya
adalah, di balik itu, bahwa sebetulnya parpollah yang menyetir praktik dan
realitas perpolitikan kita. UU politik dan pemilu (masih) hanya memberi peluang
kepada parpol untuk mencalonkan lagislatif dan eksekutif. Hingga kini calon
independen juga tidak (belum) mendapat tempat dalam dunia politik Indonesia.
Padahal
kita tahu, dan parpol pun tahu, bahwa kredibilitas parpol kita nyaris
kehilangan rasa percaya diri dan memiliki citra buruk di mata masyarakat. Masyarakat
menganggap bahwa parpol hanya menghabiskan uang rakyat, parpol hanya dijadikan
sarana untuk mencari nafkah dan kekayaan, dan citra parpol yang berideologikan
kekuasaan dan uang. Kenyataan ini semakin sulit dibantah ketika banyak orang
partai yang bercokol di legislatif dan eksekutif tertangkap basah bermain
kotor.
Sebagai
akibatnya, masyarakat tidak peduli parpol, karena tidak ada parpol yang bisa
mempertahankan dirinya sebagai suatu parpol yang ideal dan bersih. Hal itu juga
didukung kenyataan bahwa banyak parpol tidak memiliki ideologi yang konsisten
dan teruji. Hal itu terlihat dari banyaknya parpol melakukan koalisi “selingkuh”
dengan berbagai parpol lain, hanya demi agar calon mereka dalam pilkada di
daerah tertentu dapat menang.
Padahal, parpollah yang berkuasa
mengusung siapa yang menjadi anggota DPR(D), bupati, gubernur atau presiden. Karena
ambisi parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, maka parpol dengan segala
cara merebut kesempatan tersebut. Salah satu cara adalah kemampuan parpol
membaca “selera” masyarakat.
Salah
satu hasil bacaan tersebut adalah masyarakat membutuhkan figur yang terkenal,
muda, enerjik, kalau perlu tampan atau cantik. Terbukti, sebagian dari mereka
berhasil menjadi wakil gebernur, bupati, atau menjadi anggota legislatif.
Kemudian,
kita tahu bahwa para artis yeng manjadi pajabat tersebut berhutang kepada
parpol. Saya tidak pernah merendahkan kemampuan artis menjadi pemimpin, walaupun
pengalaman mereka dalam dunia politik sangat minim. Menjadi pemimpin itu tidak
sulit. Yang sulit adalah proses menjadi pemimpin dan proses memilih staf (ahli)
yang bagus.
Yang
menjadi masalah adalah bahwa mereka para artis yang menjadi pejabat tersebut
tentulah berhutang budi pada parpol yang mengusung dan menyebabkan mereka
menjadi pemimpin. Cara mereka membayar hutang budi itu adalah dengan “membayar”
jabatan atau proyek-proyek yang secara khusus untuk orang-orang parpol tertentu
tersebut.
Dalam
praktik ini, kolusi pun terjadi lagi, bahkan mungkin korupsi karena perputaran
uang ada di lingkaran mereka. Terlepas dari itu, pada akhirnya, yang berkuasa
adalah parpol itu sendiri. Padahal, banyak parpol yang ideologinya hampir tidak
berjuntrung dengan ideologi dan kepentingan rakyat. Orang bilang, keuangan yang
maha kuasa.
Mutu
negara kita, jika memang dikuasai oleh para artis, dan kemudian hanya menjadi
boneka parpol, tentulah bukan sesuatu yang memberi harapan banyak. Kecuali jika
parpol kita mau berbenah diri, dan menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan
yang layak dipertahankan secara konsisten dan teruji. * * *