Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.
Pada
masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain
penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh
keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia
memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara
ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.
Di
masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika
kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini,
kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai
bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal
di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi
runyam.
Tidak Terintegrasi
Politik
gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan
dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang
bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi
Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga
politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam
menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang
merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.
Ekonomi juga gagal karena tidak
terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian
yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola
Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika
menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu
cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan
kekayaan.
Dalam dua kondisi tersebut, banyak
juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor
penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan
dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan
politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik
tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi
faktor dominannya politik atau ekonomi.
Prinsip Etis-Kemanusiaan
Lantas
apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan,
mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan,
yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan,
kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa
menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum
berbudaya.
Dengan
demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau
ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut.
Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan
tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia
tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi
dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip
politik yang diberlakukan.
Hal yang sama terjadi pada masa Orde
Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi
berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan,
kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti
terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan
ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.
Apakah
jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak
hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu
yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai
cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut
sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa
berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa
menyelamatkan Indonesia.
Akan
tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai
etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan
memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen
sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan
tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *
Aprinus Salam, pengajar pada
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM.