Rabu, 13 Maret 2013

YANG TUA, YANG TAMAK, YANG BERKUASA Oleh Aprinus Salam



Konstelasi kekuasaan di Indonesia, memang tidak separah seperti yang digambarkan film Curse of the Golden Flower, sebuah film yang disutradarai Zhang Yimou. Diceritakan dalam film yang ber-setting tahun 900-an itu, bagaimana di lingkaran kekuasaan kerajaan (China), raja yang telah lama berkuasa, permaisuri, anak, paman, dan beberapa petinggi melakukan berbagai intrik dan tipu muslihat busuk. Mereka, secara diam-diam dan dalam berbagai cara, saling menjahati dan membunuh, berebut kekuasaan untuk menjadi penguasa.
Di puncak konflik, akhirnya sang raja (lama) dengan indah dan sukses membunuh pesaingnya, yakni permaisuri, sebagian jenderalnya, bahkan anak-anaknya yang berpotensi merebut kekuasaan sang raja kelak. Sang raja tetap bersinggasana, dengan memegang kekuasaan tanpa tanding, tanpa mengetahui bahwa sebetulnya rakyatnya sudah sangat muat dengan raja zalim itu.
Tentu dalam sebuah cerita selalu ada tokoh baik. Tokoh baik itu adalah sang pangeran, anak putra raja dan permaisuri. Pangeran itu berilmu sangat tinggi, cerdas, dan amat tangguh. Berbagai peperangan dalam membela raja (Ayahnya) selalu ia menangkan. Tak pelak, salah satu kekuatan dan kebesaran kerajaan harus diatribusikan kepada jasa-jasanya.
Kelemahan pangeran muda itu, pertama, ia amat mencintai dan menghormati orang tuanya. Kedua, ia lebih sebagai seorang satria daripada seorang politisi atau intelektual. Kelemahan pertama membuat ia tidak tahu jika ia “dikerjain” oleh orang tuanya. Kelemahan kedua,  membuat ia juga tidak tahu ke mana arah perkembangan politik kekuasaan.
Bahkan di akhir cerita ia terpaksa memakan buah simalakama, membela Raja ia hidup, ibunya yang mati. Membela Ibu, ayahnya yang mati. Karena dia satria, dia memilih berkorban dirinya yang mati, dengan harapan ibu dan ayahnya tidak mati. Sang pangeran itu tidak tahu bahwa pada akhrinya ibunya juga dibunuh secara perlahan-lahan, dengan sistem racun, oleh sang ayah.
* * *
Hal yang menarik bagi refleksi transisi dan prosesi kekuasaan di Indonesia adalah bagaimana film itu menggambarkan para orang tua, baik raja dan para jenderal, juga permaisuri, memanfaatkan anak-anak muda, bahkan anaknya sendiri, sebagai “alat” untuk melanggengkan ketamakan atas kekuasaan yang masih dan sedang dipegang para orang tua.
Belakangan ini di Indonesia salah satu isu yang cukup santer adalah kehendak adanya semacam prosesi dan transformasi kekuasaan dari para orang tua (usia di atas 60 tahun) kepada generasi yang lebih muda (dengan kisaran usia antara 35 hingga maksimal 50 tahun). Ada keengganan dari para orang tua memberikan roda kekuasaan kepada generasi muda dengan alasan anak muda belum siap.
Alasan itu tentu sangat meragukan, tidak siap dalam pengertian apa. Argumen itu, disamping lemah, juga mengada-ada. Paling tidak Rusia dan Amerika telah membuktikan bahwa kekuasaan di tangan anak muda, yang masih berusia sekitar 42 atau 43 tahun, tidak memperlihatkan sebagai satu kepemimpinan yang prematur. Bahkan di tangan anak muda, Amerika dan Rusia memberikan banyak perubahan yang lebih kondusif untuk masa depan dunia.
Memang, di lain pihak, anak muda (Indonesia) terkesan kurang “sakti”, baik dari segi modal dan terutama pengalaman (berperang atau berpolitik). Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, dalam sejarah politik yang panjang, hanya baru beberapa tahun ini saja anak muda mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik kekuasaan. Kita tahu, pada waktu rezim Orde Baru berkuasa, pendidikan dan pengalaman berpolitik anak muda dimandulkan.
Kedua, kekuasaan politik di Indonesia nyaris secara langsung berhubungan dengan kemewahan, kenikmatan, dan kekayaan. Di tengah krisis dan multi-dimensi kemiskinan massif, maka pilihan untuk menjadi penguasa (dalam segala levelnya) adalah pilihan yang masuk akal. Pilihan untuk tetap berkuasa sekaligus adalah pilihan dalam rangka menyelamatkan diri sendiri di tengah masa depan yang tidak pasti. Artinya, terdapat faktor aji mumpung dalam konstelasi kekuasaan seperti itu. Orang yang duluan berkuasa, akan mempertahankan kekuasaannya sekuat mungkin.
* * *
Hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa sejarah keberadaan sebuah bangsa dan negara berjalan ke depan. Mati hidupnya sebuah negara dan bangsa ada di tangan anak muda, dan anak muda pada generasi-generasi berikutnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan apapun yang dapat diterima jika anak muda “dihalang-halangi” atau tidak segera diberi kesempatan untuk berlatih menjadi penguasa atau mendapat kesempatan memimpin dan mengendalikan negara sesuai dengan kehendak dan aspirasi zamannya. Sejarah tidak pernah berhenti, walaupun mungkin kadang-kadang bisa saja melompat-lompat.
Sebaliknya, anak muda yang bakal berkuasa, jauh hari sebelumnya haris pula memiliki kesadaran bahwa pelajaran tamak kekuasaan seperti diajarkan oleh generasi tua terdahulu harus segera dihentikan/dipotong. Kalau tidak, maka generasi kini tidak ada bedanya dengan generasi tua yang tamak kekuasaan.
Generasi muda kini, jika kelak berkuasa, haruslah tahu diri jika telah memimpin negara ini, sambil mengatur negara ini agar lebih baik, salah satu agenda yang juga perlu dipersiapkan adalah melakukan kaderisasi kepemimpinan. Begitu kelak telah muncul generasi baru, maka generasi baru itu harus segera diberi kesempatan untuk memimpin dan mengatur negara sesuatu dengan kehendak dan aspirasi zamannya. 
Kembali ke film Curse of the Golden Flower, film itu mengajarkan dan mengingatkan kembali kepada kita bahwa bagaimanapun kekuasaan itu adalah sesuatu yang fana. Sesakti-saktinya seseorang, maka dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, seseorang hanya bisa berkuasa sekitar 30 hingga 35 tahun.
Ketika kekuasaan dipertahankan dalam segala cara, seperti pengalaman Soeharto, maka cara-cara itu hanya menimbulkan dendam dan pelajaran buruk bagi sistem dan konstelasi kekuasan di Indonesia. Jejak-jejak pelajaran yang diajarkan Soeharto itu hingga hari masih menjadi trauma masyarakat Indonesia. Kekuasaan (politik) menjadi sesuatu yang dilematis dan problematis di Indonesia.
Curse of the Golden Flower dan kekuasan Soeharto memberi pelajaran kepada kita bahwa kekuasaan harus dibersihkan dari ambisi-ambisi pribadi. Jika tidak, cepat atau lambat, kekuasaan akan punah dan rakyat akan mengenangkan sebagai raja atau presiden yang zalim dan otoriter. Dan itu tidak akan pernah bisa dihilangkan sejarah, sampai kapan pun.    
Aprinus Salam, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Minggu, 29 Juli 2012

KEBUDAYAAN SEBAGAI TERSANGKA (Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 2021)


            Pada masa Orde Lama, politik menjadi instrumen utama. Waktu itu, politik gagal menyelamatkan Indonesia dan Indonesia terjerumus menjadi negara miskin. Pada masa Orde Baru, ekonomi menjadi aktor paling penting. Pada awalnya, Indonesia sukses membangun perekonomian, tetapi ternyata ekonomi gagal menjayakan Indonesia. Indonesia kembali terjerembab menjadi negara amburadul.
Pada masa reformasi ini, tampaknya politik kembali diusahakan menjadi pemain penting. Akan tetapi, masyarakat Indonesia seolah masih trauma dan penuh keraguan. Hal itu diperlihatkan dengan gugup dan groginya masyarakat Indonesia memainkan instrumen politiknya. Kekacauan terjadi di mana-mana, sementara ekonomi tidak memperlihatkan tanda perbaikan.
Di masa sulit dan putus asa ini, masyarakat mulai berpikir bagaimana jika kebudayaan mengambil peran untuk menyelamatkan Indonesia. Selama ini, kebudayaan tidak mengambil peran sebagai operator penting, tetapi sekarang diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia. Pertanyaannya, kenapa politik dan ekonomi gagal di Indonesia, dan apakah kebudayaan bisa mengeluarkan Indonesia dari situasi runyam.

Tidak Terintegrasi
Politik gagal di Indonesia karena politik tidak terintegrasi atau tidak dintegrasikan dengan kebudayaan. Dalam sejarahnya, Nusantara memang memiliki tradisi panjang bagaimana politik berjalan di setiap lokalnya. Akan tetapi, ketika menjadi Indonesia, masyarakat tidak memiliki satu pemahaman tentang kebudayaan sehingga politik lepas dari kebudayaan. Hal itu terlihat dari kebingungan dalam menentukan strategi dan arah kebudayaan. Politik tidak lebih menjadi ajang merebut, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan dalam berbagai cara.
            Ekonomi juga gagal karena tidak terintegrasi dengan kebudayaan. Sama halnya dengan politik, tradisi perekonomian yang panjang di Nusantara tidak bisa dijadikan sumber acuan untuk mengelola Indonesia. Setiap lokal memiliki cara-cara ekonomi sendiri. Alhasil, ketika menjadi Indonesia dan ekonomi modern, ekonomi tidak lebih hanya sebagai satu cara mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan, atau menambah keuntungan dan kekayaan.
            Dalam dua kondisi tersebut, banyak juga yang kemudian menyalahkan seolah kebudayaan menjadi salah satu faktor penghambat dalam mengembangkan Indonesia menjadi negara berkualitas. Kebudayaan dianggap mengambil peran negatif karena tidak bisa diintegrasikan dengan politik atau ekonomi. Padahal, persoalannya adalah bahwa ekonomi atau politik tidak akan pernah bisa diintegrasikan dengan kebudayaan jika yang menjadi faktor dominannya politik atau ekonomi.

Prinsip Etis-Kemanusiaan
Lantas apa seharusnya yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah bagaimana mempraktikkan, mengelola, memperjuangkan, dan mempertahankan prinsip-prinsip etis-kemanusiaan, yang meliputi nilai-nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Jika kita memenuhi persyaratan tersebut, kita biasa menyebutnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Jika tidak, berarti belum berbudaya.
Dengan demikian, jika kebudayaan menjadi payung besar dalam mengelola politik atau ekonomi, maka politik dan ekonomi harus tunduk pada prinsip kebudayaan tersebut. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa politik menjadi aktor, kebudayaan tunduk kepada prinsip-prinsip politik. Itulah sebabnya, kemudian Indonesia tidak akan pernah sukses mengelola politik karena bukan saja tidak terintegrasi dengan kebudayaan, lebih dari itu prinsip-prinsip budaya juga menolak prinsip politik yang diberlakukan.
            Hal yang sama terjadi pada masa Orde Baru ketika ekonomi menjadi payung dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip dan paradigma ekonomi tidak akan pernah bisa terintegrasi berkaitan dengan prinsip dan nilai keadilan, kesederajatan, kerakyatan, kemartabatan, kemandirian, dan kemuliaan. Kita tahu, negeri Indonesia terbukti terjerembab menjadi salah satu negeri paling korup di dunia, tidak ada keadilan ekonomi, tidak ada kemandirian, kemerosotan terjadi di mana-mana.
Apakah jika kebudayaan menjadi paradigma utama, kebudayaan bisa mengitegrasikan banyak hal? Mungkin juga tidak jika kebudayaan hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang “berbau kesenian” atau “puncak-puncak kebudayaan daerah”, atau sebagai cara-cara hidup bermasyarakat yang diterima begitu saja yang biasa disebut sebagai tradisi. Kebudayaan hanya menjadi objek pasif yang tidak akan bisa berperan apa-apa. Dalam kondisi itu, kebudayaan tidak layak diprasangkai bisa menyelamatkan Indonesia.
Akan tetapi, jika memposisikan paradigma dan definisi kebudayaan sebagai nilai etis-kemanusiaan seperti disinggung di depan, maka sangat mungkin kebudayaan memiliki kekuatan untuk berintegrasi dengan ekonomi dan politik atau instrumen sosial lainnya. Dengan demikian, berbagai kesalahan kita dalam memahami kebudayaan tidak terus menerus menjadikan kebudayaan sebagai tersangka. * * *

Aprinus Salam, pengajar pada Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Kamis, 19 Juli 2012

KEBUDAYAAN TIDAK PERLU DIPIKIRKAN (Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 3 Juli 2012) Oleh Aprinus Salam


Kebudayaan tidak perlu dipikirkan karena kebudayan secara otomatis dan inheren merupakan praktik kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dapat bekerja, berpikir, dan belajar dengan baik, bagaimana dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.
Hal lain  yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengatur agar mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran dan sportivitas berjalan dengan benar, bagaimana mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan mendapatkan tempatnya secara penuh, bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab dapat dikedepankan, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka.
Jika hal itu terjadi, maka kebudayaan kita akan berjalan dengan sendirinya, dan dapat dipastikan akan berkembang sesuai dengan harapan dan cita-cita. Dengan demikian, persoalan yang kita hadapi bukan persoalan ke mana arah perkembangan kebudayaan, bukan soal terjadinya kemorosotan berbudaya, bukan soal terjadinya stagnasi dalam kebudayaan kita
Persoalan arah perkembangan kebudayaan kita menjadi lebih kapitalistis dan dikuasai oleh budaya populer karena kita tidak bergerak untuk berkarya dan bekerja produktif. Kita menjadi penonton dan peniru, dan dalam rangka itu kita seolah telah mengisi hidup dengan produktif. Hal itu didukung ketika berbagai studi dan analisis kebudayan lebih dalam rangka menjelaskan terjadinya budaya konsumtif atau riuh manisnya budaya populer.
            Pikiran tentang terjadinya kemerosotan berbudaya terjadi karena kita hanya nguri-nguri kebudayaan, tetapi justru terjebak dengan nostalgia dan “kecanggihan” masa lalu tanpa ada upaya memodifikasi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pun terjadinya stagnasi kebudayaan karena selama ini yang kita lakukan adalah membangun dan memikirkan serta melakukan berbagai kegiatan budaya tanpa ada progresi terhadap substansi, tidak ada upaya pendalaman dan pencapaian dalam sebuah kerja sistematis.
            Hal itu terlihat dari berbagai kegiatan kebudayaan, atau seolah-oleh kegiatan kebudayaan. Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah kegiatan itu ramai atau tidak, gayeng atau tidak. Ukuran kuantitatif keramaian dan keriuhan menjadi ukuran kesuksesan. Tapi apa yang terjadi, substasi kebudayaan yang perlu dipikirkan, seperti disinggung di atas, sama sekali tidak tersentuh. Kita hanya berjalan di tempat.
* * *
Banyak hal yang selama ini relatif salah-kaprah ketika kita memikirkan kebudayaan seolah kebudayaan merupakan strategi atau cara-cara berbudaya itu sendiri. Sebagai misalnya, konsep pendidikan berbasis budaya, dalam argumen di atas, justru keliru. Hal yang benar seharusnya adalah pendidikan berbasis karya, atau pendidikan berbasis kejujuran dan tanggung jawab, atau pendidikan berbasis kerja. Jauh lebih penting mengondisikan bagaimana mempraktikkan kejujuran dalam pendidikan daripada apakah pendidikan telah sejalan dan berbasis kebudayaan. Jauh lebih utama memikirkan bagaimana agar dapat bekerja dan berkarya daripada apakah kebayaan kita adiluhung atau tidak.
Hal itu terjadi bukan saja kebudayaan itu abstrak, terlalu luas, dan setiap orang berkepentingan dan merasa penting “memikirkannya”, tetapi dalam praktiknya kebudayaan juga menjadi ajang komoditas tertentu dalam budaya yang dihegemoni oleh konstruksi kapitalisme.
            Berangkat dari kenyataan itu, sudut pandang dan paradigma tentang bagaimana mempersoalkan kebudayaan memang sudah waktunya digeser. Kata-kata tentang kebudayaan yang biasanya selalu menjadi subjek atau kata utama dalam sebuah frase selayaknya diminimalkan. Apa pun yang kita dedikasikan tentang dan dalam kehidupan sehari-hari adalah proses berkebudayaan itu sendiri.
* * *
Dengan demikian, apakah kementerian pendidikan dan kebudayaan masih relevan? Kementerian atau departemen kebudayaan menjadi tidak relevan jika tidak dalam rangka memfasilitasi bagaimana agar masyarakat dapat bekerja dan belajar dengan maksimal dan mudah (tidak dengan banyak peraturan yang menyulitkan), bagaimana agar masyarakat dapat berkarya dengan khusuk, bagaimana agar masyarakat dapat mengekspresikan pendapat, karya, dan hasil dari sebuah pekerjaan secara leluasa dan bebas.
Persoalan kedua, apakah kemudian fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan di universitas menjadi tidak relevan? Mungkin masih relevan jika lembaga-lembaga itu bergerak dalam rangka menjadi lembaga yang  mengembangkan atau meneliti sekaligus memperjuangkan mekanisme dan kontrol terhadap kejujuran, memperjuangkan mekanisme atau sistem nilai/etika kemanusiaan, mendapatkan tempatnya secara penuh, memperjuangkan bagaimana perbedaan dan keragaman dapat berkembang maksimal, bagaimana persoalan tanggung jawab mendapat tempat utama, dan bagaimana proses-proses pemaknaan mendapatkan salurannya secara terbuka dan transparan.
Jika hal itu tidak terjadi, maka baik kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan, mungkin tidak ada gunanya. Pertanyaannya adalah sejauh ini apa yang dikerjakan oleh kementerian kebudayaan atau fakultas ilmu budaya atau pusat-pusat studi kebudayaan?

Aprinus Salam, dosen Pasca Sarjana FIB UGM.

Sabtu, 21 April 2012

NEGARA ARTIS, MEDIA, ATAU PARPOL?



Oleh Aprinus Salam

Belakangan ini, semakin banyak para artis yang menjadi pejabat, baik setingkat (wakil) gubernur, bupati, atau anggota legislatif di pusat ataupun daerah. Di antara mereka sejumlah artis lain sudah antri menjadi calon bupati atau gubernur. Tidak kurang, Dewi Persik pun mengaku sudah diminta parpol tertentu untuk dijadikan caleg.
Apa yang sedang terjadi di negara kita ini?
Dulu ada cerita bahwa jika Anda ingin menjadi orang sukses, maka sebaiknya Anda bercita-cita menjadi tentara. Dengan menjadi tentara, Anda bisa menjadi pejabat, menjadi anggota DPR, gubernur, bupati, camat, mubalik, dan menjadi pengusaha sekaligus. Itulah sebabnya, pada zaman Orde Baru, negara kita disebut sebagai negara militer. Hampir seluruh lini jabatan penting dipegang oleh para militer.
Sekarang semuanya berubah. Jika Anda ingin menjadi sukses, maka bercita-citalah menjadi artis. Dengan menjadi artis, maka Anda bisa menjadi gubernur, bupati, atau anggota legislatif, dan tentu menjadi mubalik dan pengusaha. Sangat mungkin ke depan (sebentar lagi) negara kita menjadi negara artis.
Tentu fenomena ini bukan gejala baru. Di Amerika, beberapa aktor terkenal sudah mendahului menjadi gubernur atau bahkan presiden. Ronald Reagen yang sempat menjadi presiden Amerika, pada dasarnya adalah seorang artis.
Kembali ke pertanyaan semula, apa yang sedang terjadi di negara kita ini dan ke mana arah perkembangan tersebut?

Kuasa Media
            Seperti halnya berkarier dalam militer, menjadi artis terkenal itu tidak mudah. Menjadi artis itu perlu kerja keras, disiplin, dan bakat. Dan di luar itu adalah keberuntungan, atau nasib baik. Banyak orang yang bisa bekerja keras dan disiplin, tapi tidak memiliki keberuntungan yang baik. Akhirnya, ia hanya bisa menjadi artis jalanan.
            Di luar faktor di atas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktor media (massa). Faktor terpenting dan utama yang membuat orang sukses adalah ketika ia menjadi terkenal. Media massalahnya yang memiliki kemampuan membuat seseorang menjadi terkenal. Ketika seseorang telah terkenal, maka masyarakat akan memilih yang dia kenal daripada tidak sama sekali.
Artinya, di sisi lain, saat ini pun negara kita adalah negara media. Yakni sesungguhnya yang berkuasa itu, seperti militer yang berkuasa, adalah media massa. Dalam sisi ini, media massa ikut bertanggung jawab dalam mengatrol popularitas seseorang sehingga ia menjadi artis terkenal dan kemudian menjadi pejabat penting.
Yang perlu dipesankan kepada media adalah bahwa media selayaknya mempopularitaskan seseorang yang memiliki kemampuan ekstra (lebih) sehingga seseorang memang layak “diartiskan”. Bukan karena dia cantik atau tampan, atau karena memiliki koneksi (dan uang). Artinya, seseorang yang memiliki track record yang unggul dan memiliki kecerdasan memadai.
Kita tahu, artis itu juga manusia dan warga Indonesia dan berhak menjadi pemimpin di negeri ini. Dengan demikian, jika perlu, media juga memiliki kemampuan dalam “menskenario” dan “menjagokan” pemimpin masa depan. Saya kira, banyak orang berbakat di negeri kita ini yang bisa “diartiskan” dan kemudian “direkayasa” untuk menjadi pejabat atau pemimpin.

Jadi Boneka Parpol
Masalahnya adalah, di balik itu, bahwa sebetulnya parpollah yang menyetir praktik dan realitas perpolitikan kita. UU politik dan pemilu (masih) hanya memberi peluang kepada parpol untuk mencalonkan lagislatif dan eksekutif. Hingga kini calon independen juga tidak (belum) mendapat tempat dalam dunia politik Indonesia.
Padahal kita tahu, dan parpol pun tahu, bahwa kredibilitas parpol kita nyaris kehilangan rasa percaya diri dan memiliki citra buruk di mata masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa parpol hanya menghabiskan uang rakyat, parpol hanya dijadikan sarana untuk mencari nafkah dan kekayaan, dan citra parpol yang berideologikan kekuasaan dan uang. Kenyataan ini semakin sulit dibantah ketika banyak orang partai yang bercokol di legislatif dan eksekutif tertangkap basah bermain kotor.
Sebagai akibatnya, masyarakat tidak peduli parpol, karena tidak ada parpol yang bisa mempertahankan dirinya sebagai suatu parpol yang ideal dan bersih. Hal itu juga didukung kenyataan bahwa banyak parpol tidak memiliki ideologi yang konsisten dan teruji. Hal itu terlihat dari banyaknya parpol melakukan koalisi “selingkuh” dengan berbagai parpol lain, hanya demi agar calon mereka dalam pilkada di daerah tertentu dapat menang.
            Padahal, parpollah yang berkuasa mengusung siapa yang menjadi anggota DPR(D), bupati, gubernur atau presiden. Karena ambisi parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, maka parpol dengan segala cara merebut kesempatan tersebut. Salah satu cara adalah kemampuan parpol membaca “selera” masyarakat.
Salah satu hasil bacaan tersebut adalah masyarakat membutuhkan figur yang terkenal, muda, enerjik, kalau perlu tampan atau cantik. Terbukti, sebagian dari mereka berhasil menjadi wakil gebernur, bupati, atau menjadi anggota legislatif.
Kemudian, kita tahu bahwa para artis yeng manjadi pajabat tersebut berhutang kepada parpol. Saya tidak pernah merendahkan kemampuan artis menjadi pemimpin, walaupun pengalaman mereka dalam dunia politik sangat minim. Menjadi pemimpin itu tidak sulit. Yang sulit adalah proses menjadi pemimpin dan proses memilih staf (ahli) yang bagus.
Yang menjadi masalah adalah bahwa mereka para artis yang menjadi pejabat tersebut tentulah berhutang budi pada parpol yang mengusung dan menyebabkan mereka menjadi pemimpin. Cara mereka membayar hutang budi itu adalah dengan “membayar” jabatan atau proyek-proyek yang secara khusus untuk orang-orang parpol tertentu tersebut.
Dalam praktik ini, kolusi pun terjadi lagi, bahkan mungkin korupsi karena perputaran uang ada di lingkaran mereka. Terlepas dari itu, pada akhirnya, yang berkuasa adalah parpol itu sendiri. Padahal, banyak parpol yang ideologinya hampir tidak berjuntrung dengan ideologi dan kepentingan rakyat. Orang bilang, keuangan yang maha kuasa.
Mutu negara kita, jika memang dikuasai oleh para artis, dan kemudian hanya menjadi boneka parpol, tentulah bukan sesuatu yang memberi harapan banyak. Kecuali jika parpol kita mau berbenah diri, dan menjadikan ideologi sebagai basis perjuangan yang layak dipertahankan secara konsisten dan  teruji. * * *


DUALISME DEMOKRASI GAYA YOGYAKARTA



Oleh Aprinus Salam

Di Indonesia, wacana dan operasi-operasi demokra(tisa)si memperlihatkan sosok yang semakin dapat dirasakan dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Siapapun ia, saat ini, secara bermakna memperlihatkan aktivitas dan praktik atas nama demokrasi, sekaligus segala sesuatu mendapat gugatan atas nama demokrasi.
Masalahnya adalah justru karena atas nama demokrasi mekanisme sosial yang berkaitan dengan urusan kebijakan publik sering terlihat berjalan rusuh, dan kekerasan muncul di mana-mana. Jika kita menyaksikan berbagai berita di media massa, tak pelak atas nama demokrasi dan HAM banyak orang menjadi "nekat" untuk melakukan apa saja.
Artinya, tidak tertutup kemungkinan aktivitas atas nama demokrasi potensial mengandung otoriterisme dan anarki. Kemudian, selalu muncul pembelaan bahwa itu bukan demokrasi, melainkan permainan dan manuver segelintir pihak yang berkepentingan. Maksudnya, di balik banyak peristiwa kekerasan, permainan politik kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, dijadikan kambing hitam (politik kambing hitam).
Terlepas dari itu, yang ingin dikatakan adalah bahwa demokrasi pun tidak menjamin kehidupan menjadi tentram dan damai, penuh penghargaan terhadap HAM, orang mendapat keadilan dan jaminan hukum yang transparan, politik dijalankan secara jujur dan fair, dan segala tetek mbengek pengertian demokrasi bagi setiap orang yang berharap terhadap kehidupan yang demokratis itu. 
* * *
Belakangan ini, akhirnya, semakin terbukti bahwa demokrasi bukan sesuatu yang bisa beroperasi secara universal. Ia selalu mengalami kontekstualisasi, tergantung dimana dan kapan konsep demokrasi tersebut diberlakukan dan didefinisikan. Oleh karenanya, jika demikian, jangan pernah berharap demokrasi dalam pengertian universal dan ideal diberlakukan di semua ruang publik.
Amerika, misalnya, yang menganggap negaranya paling demokratis, yang merasa menerapkan demokrasi secara "murni",  dalam praktiknya selalu memiliki standar ganda dalam mengelola definisi demokrasi sesuai dengan kepentingan negara dan rakyat Amerika. Tetapi, itulah demokrasi Amerika. Yang menggelikan, Amerika selalu mengklaim bahwa banyak negara tidak berjalan secara demokratis dan perlu belajar demokrasi ala Amerika.
Memang, jaminan rakyat Amerika untuk mendapatkan hak-hak hukum yang demokratis dalam kehidupan sehari-harinya mungkin paling lumayan dibanding sejumlah negara lain. Tetapi itu tidak memberi jaminan bahwa negara Amerika bebas dari pelangaran-pelanggaran demokrasi dalam berbagai aspeknya. Yang pasti demokrasi ala Amerika itu sama sekali tidak mampu menjamin masyarakat dapat hidup tentram, damai, sejahtera,
Itulah sebabnya, saya ingin mengatakan bahwa biarlah praktik demokrasi tidak harus diterapkan secara modern, tetapi cara-cara masyarakat, yang katakanlah "tradisional", memiliki cara tersendiri untuk menyebut dirinya domoktratis. Orang tua yang memiliki otoritas untuk mengatur anaknya, dan seorang anak selayaknya memiliki kepatuhan kepada orang tuanya, boleh saja dikatakan demokratis sejauh anak tersebut merasa telah memberikan kebaktian kepada orang tuanya, dan kehidupan menjadi lebih nyaman dan tentram.
Memang ada hegemoni di dalamnya, yakni keberpihakan kepada orang tua sebagai “penguasa”. Apalagi jika ditempatkan dalam pengertian anak harus berbakti, mengabdi, dan sebagainya, dan dalam posisi itu bahkan seorang anak dapat menikmatinya. Bagi saya itu tidak masalah. Karena saya justru ingin menekankan kehidupan yang tentram, nyaman, damai, dan bahagia. Kalau dengan cara itu justru bisa didapatkan. Apa sih yang dicari di dunia ini?
* * *
Berangkat dari uraian di atas, barangkali yang paling menarik adalah demokrasi gaya Yogyakarta, yang saya sebut sebagai dualisme demokrasi. Basis konsep dualisme ini meminjam konsep Boeke, konsep dualisme ekonomi, yakni ketika sesuatu (mekanisme dan sistem ekonomi) modern dan tradisional berjalan berbarengan, saling melengkapi dan sinergis.
Di Yogya, tampaknya, demokrasi modern dan tradisional berjalan bersamaan, dan itu pula mekanisme yang mampu mengamankan Yogya dari berbagai kekerasan dan kerusuhan massal. Jika ada kerusuhan dan kekerasan massal  yang rugi dan terancam nyawanya adalah rakyat, bukan siapa-siapa.
Yang saya maksud dengan dualisme demokrasi gaya Yogya adalah biarkan demokrasi modern berjalan di Yogya, misalnya tuntutan sistem pemerintahan dan pembuatan keputusan yang inklusif, penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan, keberadaan lembaga-lembaga perwakilan yang representatif dan responsif, kebebasan sipil dan media, partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan masyarakat yang pluralis dan damai, dan lain-lain.
Tetapi, jangan dipaksakan pula kepada orang Yogya untuk  tidak menghormati Sultannya, yang dalam kacamata demokrasi modern dianggap feodal dan tidak demokratis. Kita tidak bisa mengatakan bahwa orang yang “menyembah” Sultan lantas disebut tidak demokratis. Demokrasi tradisi Yogya punya cara sendiri. Kalau mereka percaya dengan cara manut apa kata Sultan, kenapa harus dipersalahkan. Itulah kontekstualisasi demokrasi.
Sejarah modern Yogya telah membuktikan bahwa banyak operasi demokrasi modern berjalan rusuh, dan pada akhirnya yang dapat mengamankan  Yogya adalah campur tangan demokrasi gaya Yogya itu. Yakni otoritas Sultan sebagai Bapak dan Orang Tua Yogya, dan dukungan orang Yogya yang menghormati Sultan. Tidak harus orang yang mengabdi kepada Sultan dianggap kuno dan tidak demokratis. Orang punya cara hidup sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang mereka percaya. Toh kita tidak tahu apakah dengan cara itu mereka mungkin justru menjadi lebih bahagia.
Namun, memang masih tersimpan pertanyaan penting ke mana arah proses demokrasi di Yogya, akankah pengaruh dan wibaya bayang-bayang kukuasaan Kesultanan Yogya akan semakin menguat, atau terdapat sejumlah proses lain sehingga tradisi itu akan semakin berkurang sehingga proses demokrasi-feodalisme gaya Yogya ini mengarah pada bentuk-bentuk baru. Kita tunggu dan lihat bersama-sama.
Akan tetapi, kalau sekedar boleh mengira-ngira, sejauh kesultanan Yogya mampu memberikan semacam rasa aman, kenikmatan, dan suaka perasaan merasa lebih beradab untuk (menjadi) orang Yogya, maka dualisme demokrasi itu akan semakin menguat. Yang bisa dirasakan saat ini, dalam batas-batas tertentu, Yogya memberikan kenikmatan demokrasi modern dalam kontrol bayang-bayang kekuasaan Sultan yang mampu mengayomi masyarakat Yogya. Suatu kerja sama sinergis yang saling melengkapi. Apakah saya  terhegemoni. Biarlah.

Jumat, 20 April 2012

WAJAH SENYUM TAK BERSALAH



Oleh Aprinus Salam

Ada hal menarik yang coba dipertontonkan oleh para tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan (khususnya koruptor) di televisi. Wajah itu adalah wajah penuh senyum. Dan bahkan dengan percaya diri tidak terlihat kesan malu di wajah itu. Tidak ada kesan merasa bersalah dan prihatin di wajah itu.
Tentu, sejauh pengadilan belum membuktikan bahwa para pelaku kejahatan itu bersalah, kita tidak boleh berprasangka bahwa para pelaku itu pasti telah melakukan kesalahan. Apa pun yang terjadi, para tersangka dan terdakwa pelaku kejahatan berhak membela dirinya, hingga hukum positif membuktikan bahwa mereka terbukti bersalah dan layak dihukum.
Herannya, ketika kejahatan para pelaku itu telah ditayangkan dan diberitakan, berupa bukti-bukti rekaman video, rekaman telepon, dan gambar-gambar peristiwa kejahatan lainnya, wajah senyum itu tak pernah meluntur. Apa yang terjadi?
* * *
Pertama, mereka tahu bahwa melakukan kejahatan di Indonesia itu biasa. Mereka paham, siapa yang tidak pernah melakukan kejahatan di Indonesia. Hidup dalam negara miskin dan semrawut ini, siapa pun dia tidak akan terhindar dari perbuatan jahat. Mereka hanya sial dan tertangkap basah. Mereka segelintir orang yang tidak beruntung karena secara tidak sengaja kejahatannya diketahui.
Kedua, mereka tahu melakukan kejahatan tidak harus malu. Ya, kenapa mereka harus malu. Jangankan mereka yang “orang awam”, lha mereka para alim ulama, mereka para intelektual, peneliti, mahasiswa, guru, dan para pemimpin lainnya juga korupsi, atau melakukan kejahatan lainnya.
Ketiga, mereka tahu bahwa memasang wajah senyum itu adalah “kepribadian” masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Senyum itu sebagai tanda bahwa hatinya sedang riang karena dapat memberikan sedekah senyum. Jadi, senyum itu sebagai tanda kebaikan mereka, atau mereka baik-baik saja dan perlu memberi senyum.
Keempat, mereka tahu bahwa mereka hanya dikambinghitamkan. Dalam sistem birokrasi yang kita bangun itu, kemudian kita mengenal istilah bahwa korupsi itu dilakukan secara berjamaah. Dalam jamaah koruptor itu semua orang sebetulnya terlibat. Mereka “sengaja” ditangkap untuk dikambinghitamkan agar jamaah yang lain selamat, Jadi, ada juga perasaan di hati mereka justru yang tertangkap itu telah bertindak sebagai pahlawan.  
Kelima, mereka tahu bahwa toh nanti hukum bisa dibeli. Artinya, tidak ada yang perlu ditakutkan jika melakukan kejahatan korupsi. Uang akan menyelesaikan segalanya. Siapa kita yang bukan orang munafik tidak mau uang? Bahkan penegak hukum seperti jaksa, hakim, pengacara, polisi, pun ternyata tak kebal suap. Senyum adalah tanda kedermawanan.
Keenam, mereka tahu bahwa kelak setelah dihukum mereka bisa bersenang-senang. Mungkin mereka akan dihukum 1 atau bahkan hingga 7 tahun. Tapi dengan uang korupsi milyaran yang telah “disimpan” itu, mereka menganggap hukuman 1 hingga 7 tahun itu seperti bertapa sebentar, seperti mejalani hidup prihatin. Mereka percaya, setelah masa prihatin di penjara, maka masa untuk bersenang-senang akan datang sebagai imbalannya.
Ketujuh, terlepas dari itu, mereka tahu bahwa bagaimanapun mereka harus tampil layak lihat dan memenuhi kepantasan. Prasangka buruknya adalah bahwa sebetulnya mereka tidak percaya diri terhadap wajah mereka yang tidak ganteng atau tidak cantik. Untuk menutupi itu, mereka harus tampil senyum sehingga terlihat tetap ganteng atau cantik.
* * *
Tentu kita tidak tahu persis, kira-kira senyum yang mana yang diumbar para koruptor jahat tersebut. Mungkin salah satunya, mungkin salah dua, mungkin semuanya.
Akan tetapi, mengingat kejahatan korupsi di Indonesia adalah keterlibatan berjamaah, sangat mungkin senyum mereka adalah senyum pahlawan. Jadi, jika Anda ingin menjadi pahlawan, maka salah satu cara adalah dengan melakukan korupsi. Syukur jika korupsi itu tidak ketahuan, karena Anda tetap menjadi pahlawan di lingkungan jamaah Anda. Wajah senyum Anda tentu tetap dapat ditebarkan, terutama di lingkungan jamaah sesama koruptor.
Terlepas dari itu, ada hal menarik lain, bahwa biasanya para pelaku kejahatan itu tiba-tiba tampil memakai kopiah, atau kopiah haji berwarna putih, dan memakai sarung. Seperti memperlihatkan bahwa mereka sebetulnya sangat relijius, tapi terjebak dalam kejahatan yang dia sendiri tidak mau melakukan.
Kemudian setelah tertangkap, dengan wajah tetap mengumbar senyum, setiap pembicaraan mereka mengucap Astagfirullah, Alhamdulillah, Allah sedang memberi cobaan, dan ungkapan lain yang seolah dengan tertangkapnya para koruptor itu, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa sebetulnya Tuhan tahu bahwa dia tidak bersalah.  
Yang pasti, mereka para koruptor itu adalah para aktor yang mampu menyembunyikan kegelisahan mereka. Mereka mampu “menjadi orang lain”, mampu memerankan peran yang bukan dirinya sendiri selama menjadi pesakitan.
Saya yakin, ketika mereka sendiri, tidak ada orang yang melihat, maka wajah aslinya akan muncul dalam kesepian yang sangat. Wajah asli itu adalah wajah yang murung, wajah yang menyesal, wajah yang pedih. Dalam kondisi itu, mereka sedang tidak menjadi aktor dunia panggung sandiwara. * * *

Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Rahasia Sejarah, Sejarah Rahasia


Oleh Aprinus Salam

Memahami arti rahasia sejarah, mungkin tidak terlalu sulit. Paling tidak bisa dimaksudkan sebagai upaya pemahaman filosofis terhadap kerja-kerja sejarah berdasarkan teori, perspektif, dan metode-metode tertentu sehingga berbagai peristiwa yang sudah terjadi, yang terlipat oleh ruang dan waktu, yang jika tidak dikuak ia akan selalu menjadi rahasia sejarah.
Itulah sebabnya, banyak peristiwa yang pada mulanya remang-remang, gelap, tersembunyi, semakin dibongkar dengan cara-cara tertentu, semakin memperlihatkan sisi-sisi terangnya. Akan tetapi, apa dan bagaimanapun upaya pemahaman terhadap berbagai peristiwa yang pernah terjadi itu, tidak akan pernah sepenuhnya benar, kecuali dalam perspektif bagaimana peristiwa itu dipahami. Tidak ada sebuah kajian sejarah, selengkap apa pun, yang dapat mengetahui suatu peristiwa secara benar dan utuh.
Peristiwa jatuhnya Soeharto, barangkali akan selalu dikuak dalam rentang waktu yang panjang. Akan tetapi, tidak akan pernah ada sebuah kajian sejarah yang dapat membongkar peristiwa jatuhnya Soeharto secara lengkap dan paling benar, kecuali hal-hal yang dapat diketahui, yang dapat diakses dengan berbagai cara, hingga ke tingkat yang dianggap rahasia.
Demikian pula peristiwa bubarnya Majapahit hingga berdirinya kerajaan Mataram, lengsernya Soekarno, Habibie, dan Abdurrahman Wahid. Kita hanya dapat mengetahui berbagai kajian historis terjadinya pergeseran kekuasaan tersebut berdasarkan kajian-kajian tertentu, tetapi tidak tertutup kemungkinan jika kajian tersebut hanya dapat dipahami berdasarkan satu sisi kebenaran dalam dirinya saja.
Itulah sebabnya, banyak orang semakin percaya bahwa pada dasarnya sejarah adalah sebuah fiksi tersendiri. Ia tidak lebih sesuatu yang diceritakan ulang, yang dianggap berdasarkan fakta-fakta dan data-data tertentu, tetapi cerita tersebut tidak dapat membuktikan kebenarannya bila ada cerita lain yang juga dianggap berdasarkan fakta dan data yang lain. Ini pula yang membuat banyak orang lambat laun mulai percaya bahwa fiksi sebuah cerita adalah sejarah tersendiri pula. Sejarah adalah fiksi dan sebaliknya.
* * *
Hal di atas adalah sebuah cerita tentang rahasia sejarah. Pertanyaannya adalah, mengapa hal tersebut terjadi. Dalam konteks inilah kita berbenturan dengan sebuah kata, sebuah konsep, yang juga telah disebut, yakni rahasia. Rahasialah yang membuat berbagai kajian sejarah hanya bisa membenarkan dirinya sendiri. Rahasialah yang membuat kajian-kajian sejarah tidak lebih sebuah fiksi yang berdasarkan fakta dan data-data tertentu yang dapat ditemukan dalam berbagai caranya, dibaca dan dikaji ulang, direkonstruksi, dan kemudian ditulis ulang (didongengkan).
Saya membayangkan peristiwa Ken Arok menjadi raja, berdirinya kerajaan Mataram, Supersemar, peristiwa 27 Juli 1997, dan sebagainya, juga akan ditulis ulang. Untuk peristiwa masa lalu, begitu banyak dokumen-dokumen, naskah-naskah, dan catatan yang harus dibaca dan dikaji. Untuk kejadian yang lebih kontemporer, bukan saja dokumen dan catatan yang berserakan yang harus dipelajari ulang, tetapi pun begitu banyak tokoh dan para saksi yang akan diwawancarai sehingga jadilah sebuah cerita sejarah yang relatif lengkap, mungkin.
Persoalannya, pertama, dokumen atau tulisan apapun tentu tidak pernah membuktikan apapun, karena dalam banyak hal ia tidak lebih adalah sebuah teks, yang tidak bisa dijadikan patokan kebenaran. Apalagi sebuah teks tertulis itu tidak lebih suatu media yang dianggap mampu merekam, menyimpan, apa yang terkandung dalam teks itu sendiri, tidak segala sesuatu yang ada dalam benak penulis teks, bahkan tidak suasana peristiwa yang tidak mampu tertampung oleh teks, seperti bau, rasa ngeri, dan sebagainya.
Lebih parah lagi sebuah teks tertulis, tidak mampu merekam berbagai teks lain dalam berbagai benak penulis. Bahkan penulis teks itu sendiri tidak tahu apa saja yang diketahuinya, tidak tahu (atau mungkin lupa) tentang yang diketahuinya,  tidak pernah mengetahui apa yang diketahui orang lain, bahkan tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa pada dasarnya teks telah menulis sendiri sejarahnya, dan/atau keterbatasan kata dalam menampung berbagai informasi yang diketahuinya.
Kedua, dalam soal wawancara, apakah setiap orang yang diwawancarai akan menceritakan semua hal yang diketahuinya. Pasti tidak. Kita mengira, saat ini Soeharto adalah salah satu tokoh kunci dan terpenting dalam peristiwa Supersemar, ataupun peristiwa kejatuhannya. Kita andaikan jika Soeharto bersedia diwawancarai (sayang sekarang beliau sudah uzur dan pasti pelupa). Apakah Soeharto akan menceritakan semua hal yang diketahuinya, apalagi jika itu menyangkut sesuatu yang akan merugikan citra dirinya. Pasti tidak.
Anggaplah kemudian ada tokoh-tokoh kunci lain yang dianggap paling tahu tentang itu selain Soeharto. Apakah ia juga bisa menceritakan semua yang diketahuinya, mungkin bisa. Tapi apakah ada yang bisa menjamin bahwa tokoh ini bisa menceritakan sesuatu yang diketahui Soeharto, atau apakah tokoh ini mengetahui semua yang diketahui Soeharto. Pasti tidak.
Barangkali, dari sinilah kemudian kita memutuskan bahwa sejarah adalah peristiwa empirik sejauh yang bisa diketahui dan dibuktikan. Selain itu, bukan sejarah.
* * *
Kejadian di atas mungkin dianggap yang besar-besar. Artinya, yang melibatkan kepentingan dan nasib orang banyak. Akan tetapi, itu tidak menutup kemungkinan bahwa demikian banyak peristiwa sejarah dalam kehidupan sehari-hari, jika itu tetap dianggap sejarah, sangat tertutup rapat oleh pintu-pintu rahasia.
Sejarah hubungan seks tidak resmi, misalnya, adalah kejadian sejarah (individual) yang paling banyak menyimpan rahasia. Padahal, dalam sejarahnya, kejadian yang biasanya terjadi di ruang tertutup ini, begitu banyak peristiwa berlangsung. Sejarah tentang kisah sukses seseorang, mungkin dengan KKN, dan sebagainya, akan selalu menjadi rahasia orang per orang.
Artinya, kalau boleh disimpulkan, yang paling menarik memang sejarah kejahatan. Dalam wilayah inilah rahasia paling banyak tersembunyi. Bahkan ada sebuah teori yang mengatakan bahwa sebetulnya teori-teori yang dikembangkan dalam kriminologi itu tidak cukup canggih. Hal tersebut terjadi karena data kejahatan yang dijadikan bahan kajian adalah bentuk kejahatan yang hanya bisa diketahui saja. Karena seandainya kejahatan itu canggih, maka kejahatan itu justru terselubung, tidak diketahui, tidak terdeteksi, atau minimal kejahatan yang tidak dilaporkan.
Itu artinya, sejauh ini berbagai kejahatan yang dikaji adalah kejahatan yang terpantau, dapat diketahui, yang tertangkap, yang tidak canggih. Yang tidak diketahui tentu saja sulit untuk dikaji, walau mungkin saja masih tetap dapat diperhitungkan. Itupun hanya dengan berbagai perkiraan dan prasangka. Apalagi, siapa yang dengan rela dan sepenuh hati akan menceritakan kejahatannya.
* * *
Begitu banyak hal sesungguhnya tetap rahasia. Sebuah rahasia tetaplah rahasia, tetapi bukan rahasia sejarah seperti yang telah diurai di depan. Sangat mungkin sebuah kajian sejarah mengungkap sesuatu yang selama ini dianggap rahasia. Namun, sebagai mana hakikat rahasia itu sendiri, sejarah rahasia sangat mungkin hanya berkutat di sekitar pintu-pintu masuk ke rahasia, tetapi tidak akan mampu masuk ke dalam rahasia. Artinya, sejarah rahasia adalah sebuah uraian tentang rahasia, tetapi bukan rahasia itu sendiri.
Itulah sebabnya, saya semakin yakin bahwa sebetulnya begitu banyak rahasia-rahasia dalam sejarah kita belum terungkap, dan tidak akan pernah terungkap. Dia selalu terselubung dalam setiap teks-teks. Dia selalu bersembunyi, atau bisa jadi disembunyikan, dalam syaraf-syarat ingatan para pelaku sejarah. Dan syaraf-syaraf ingatan itu akan tertelan bumi bersamaan mereka yang satu per satu juga kembali ke tanah.
Kemudian, seperti layaknya sebuah film, kita mengandaikan ada sebuah alat teknologis yang mampu merekam berbagai hal yang disimpan dalam syaraf-syaraf ingatan tersebut. Ini pun masih bermasalah. Pertama, kapan alat teknologis seperti itu bisa kita buat, artinya sebuah pengandaian tetaplah sebuah pengandaian. Kedua, berapa banyak syaraf yang harus kita rekam. Ketiga, bagaimana cara membuktikan sebuah rekaman dari syaraf-syaraf ingatan tersebut benar. * * *